Selasa, 17 Maret 2009

KEDUDUKAN HUKUM WARIS INDONESIA

KEDUDUKAN HUKUM WARIS INDONESIA
(Materi Perkuliahan)


Kedudukan dan Perlakuan Hukum terhadap tanah yang alas buktinya baru berupa Girik tidak dapat dilakukan peralihannya melalui akte van transport berupa akta AJB yang dibuat oleh/dihadapan PPAT, tepapi dapat dilakukan dengan akta Pelepasan dan Penyerahan Hak atau akte Pengoperan Hak atau akte Pengikatan akan jual beli di hadapan Notaris. Untuk ketiga macam akte mana harus di sesuaikan dengan tindak lanjut perbuatan hukum mana yang dipilih. Jika Giriknya masih atas nama Pewaris, dimana di dalam premisse akta harus dicantumkan bahwa tanah yang dialihak/dioperkan hak tersebut adalah tanah yang berasal dari hak waris. Hak Waris mana harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Hak Waris, yang dibuat/dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang (tergantung dengan penundukan hukum apa) di yang dipakai 
 
Sebagai penyegaran untuk mengingat kembali bahwa sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah yang menetapkan salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah masalah kewarisan. Meskipun di Jawa dan Madura Pengadilan Agama tidak menyelesaikan masalah warisan, tetapi Pengadilan Agama mengeluarkan “Fatwa Waris” yang sangat dibutuhkan oleh para pencari keadilan.  

Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.  
 
Namun demikian materi HWI tetap berada dalam buku II KHI yang berpayung hukum pada Inpres No. 1 tahun 1991. 
 
Dalam praktek pelaksanaan wewenang tersebut, saat ini menurut kami ada beberapa hal yang perlu dilengkapi dan disempurnakan, antara lain :
 
1. Materi HWI
 
Mempelajari materi HWI hukumnya fardlu kifayah. Artinya jika sudah ada sebagian orang yang mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban yang lain. Namun melaksanakan HWI dalam membagi harta peninggalan adalah fardlu ‘ain. Artinya setiap orang Islam wajib melaksanakan hukum waris Islam jika ia membagi waris. Tidak gugur kewajibannya sehingga ia melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan Allah(Qs.4:13-14).  
 
Dalam mempelajari hukum waris Islam, kendala yang umum dihadapi adalah : 
 
a. Orang merasa sulit mempelajarinya karena melibatkan beberapa ilmu lain, seperti : matematika, akuntansi, bahasa, penilaian atau penaksiran harta, pertanahan, dll.
 
b. Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, jika HWI ini tidak senantiasa dipakai akan cepat lupa dan hilang. Sementara peristiwa kematian jarang terjadi.
 
c. Persentase pembagian harta dalam HWI sangat tergantung keberadaan ahli waris saat pewaris meninggal. Oleh karena itu, diperlukan metode untuk memahami siapa-siapa ahli waris yang berhak mendapat harta peninggalan dan berapa bagian masing-masing ahli waris.  
 
d. Beberapa mazhab dalam Islam memiliki perbedaan dalam menetapkan ahli waris, menghitung dan membagi harta peninggalan pewaris.  
 
e. Tidak semua orang yang mati meninggalkan harta yang patut menjadi urusan penting.
 
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas antara lain : 
 
a. Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan KHI dengan dasar Inpres/1991. Dalam perkembangannya, saat ini buku I KHI (tentang perkawinan) telah diundang-undangkan (UU No.1/1974), buku III KHI (tentang wakaf) telah diundang-undangkan (UU No.40/2006). Sudah selayaknya buku II KHI (tentang waris) juga dibuat Undang-Undang.  
 
b. Telah dikembangkannya metode gambar sebagai salah satu alternatif cara memahami siapa saja ahli waris yang berhak mendapat pembagian harta peninggalan.
 
c. Kami telah mengembangkan software waris Islam, yang dapat menetapkan ahli waris yang berhak, persentase bagian ahli waris, sekaligus menghitungnya jika diketahui jumlah harta peninggalan pewaris.
 
Solusi di atas perlu disosialisasikan baik melalui seminar, pelatihan, maupun workshop. Selain itu diperlukan sharing diantara pejabat teras di lingkungan notaris (INI), Departemen Agama dan Departemen Hukum dan HAM. 
 
 
2. Keterangan Waris
 
Surat keterangan waris bagi penduduk asli Indonesia yang dibuat oleh para ahli waris dan diketahui oleh RT/RW, lurah dan camat didasarkan pada surat Mendagri Dirjen Agraria Kep. Direktorat P.T u.b. Kepala Pembinaan Hukum (R. Supanji) No. Djt/12/63/69 (20-12-1969). Surat edaran Dirjen ini dapat dikatakan kurang tepat, dikarenakan dalam isi surat tersebut dikatakan bahwa “Penduduk asli ‘bagaimana berlaku’ hukum adat”. Padahal pribumi yang Islam tidak tunduk pada hukum adat, melainkan hukum Islam.  
  
 
Kemudian apabila dicermati dengan teliti, akan ditemukan bahwa : 
 
a. Format keterangan waris yang diketahui oleh RT/RW, lurah, camat ini tidak memiliki standart. Bentuknya bermacam-macam. 
 
b. Data-data yang terdapat dalam keterangan waris kurang akurat. Tidak terdapat data yang berkaitan dengan wasiat. Padahal wasiat adalah hal yang umum ada di masyarakat.  
 
c. Demikian pula dari sisi kebenarannya, keterangan waris masih dipertanyakan otentitasnya. Seringkali apa yang tertulis dalam keterangan waris berbeda dengan kenyataan sebenarnya, seperti : tidak seluruh ahli waris tercantum dalam keterangan waris, bahkan ahli waris tidak menandatanginya di hadapan lurah dan camat yang bersangkutan. 
 
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan peraturan setingkat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengurusan keterangan waris seperti halnya notaris membuat keterangan waris untuk warga keturunan Tionghoa dan orang barat.
 
3. Keputusan atau Ketetapan Tentang Ahli Waris di Pengadilan Agama
 
Berdasarkan pasal 49 UUPA yang telah diamandemen menjadi UU No.3 tahun 2006, mekanisme keputusan atau ketetapan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :
 
a. Sengketa/contensius. Apabila terjadi sengketa diantara ahli waris, yang bersangkutan datang ke Pengadilan Agama mengajukan perkaranya. Pengadilan Agama akan menetapkan putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat berbagai pihak untuk tunduk pada keputusan tersebut.
 
b. Tanpa sengketa/voluntair. Untuk menghindari terjadinya sengketa dalam pembagian harta peninggalan, ahli waris membagi secara damai dan datang ke Pengadilan Agama memohon penetapan. Pengadilan Agama akan mengeluarkan ketetapan berupa Permohonan Penetapan Pembagian Harta Peninggalan/P3HP (psl 49 dan 107 UUPA). P3HP yang dikeluarkan Pengadilan Agama menurut penulis memiliki beberapa kekurangan, antara lain :
 
i. Terbitnya P3HP hanya didasarkan pada mekanisme dan acara singkat, artinya tidak seperti mekanisme dan acara yang ditetapkan oleh hukum acara sebagaimana mekanisme dan acara bagi suatu perkara (sengketa), Misalnya : Tidak dilakukan publikasi (pengumuman) secara terbuka yang fungsinya memberi kesempatan kepada “siapapun” (pihak ketiga) yang mungkin mempunyai kepentingan dengan harta peninggalan yang akan dibagi tersebut. Pengumuman ini bisa dilakukan di kantor Pengadilan Agama setempat (yang bersangkutan dengan status para ahli waris), di kantor kelurahan atau kantor kecamatan maupun di kantor pertanahan jika menyangkut harta peninggalan yang berupa tanah. Pengumuman itu juga dapat dilakukan melalui mass media cetak seperti surat kabar harian terutama yang beredar di daerah tempat meninggalnya pewaris. Dilihat dari segi proses pembuatannya ini, maka isi keterangan yang tercantum dalam P3HP mengandung kelemahan yang bersifat materiil.
 
ii. Pembuatan P3HP tidak disertai dengan pengecekan di Daftar Pusat Wasiat (Departemen Kehakiman). Seharusnya hakim agama melakukan hal ini untuk membuktikan tentang ada-tidaknya wasiat yang dibuat oleh almarhum semasa hidupnya, baik wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ataupun wasiat di bawah tangan.
 
iii. Di dalam P3HP pada umumnya juga belum dicantumkan nilai penaksiran (appresial) yang seharusnya dilakukan oleh juru taksir yang profesional. Selama ini nilai penaksiran yang dilakukan oleh “orang” atas harta peninggalan hanya didasarkan atas kesepakatan para ahli waris saja(pasal 187 KHI), artinya hanya bersifat kekeluargaan. Seharusnya jika penaksiran dilakukan oleh orang atau badan yang profesional dan netral (tidak berpihak pada kepentingan salah satu ahli waris), maka akan diperoleh nilai penaksiran yang akurat dan obyektif.
 
Kekurangan P3HP baik yang bersifat teknis (mekanisme dan prosedur pembuatannya) maupun substansi (isi P3HP) seperti yang selama ini terjadi dalam praktek, diharapkan dapat diperbaiki oleh hakim agama sehingga pelaksanaan pembagian itu dapat memenuhi persyaratan hukum sebagaimana ditentukan dalam pasal 49 ayat (3) Undang-undang Peradilan Agama.
 
4. Pelaksanaan Pembagian Harta Peninggalan
 
Pelaksanaan pembagian harta peninggalan dapat dilakukan oleh para ahli waris maupun notaris, dengan penjelasan sebagai berikut :
 
a. Dilakukan oleh para ahli waris (psl 187 KHI)
 
  Umumnya masyarakat membagi sendiri harta peninggalan pewaris. Pembagian semacam ini terkadang menimbulkan masalah. Tidak adanya appresial membuat harta yang dibagi tidak proporsional. Kemungkinan ada unsur subyektivitas, padahal kerelaan para ahli waris yang menjadi acuan dalam pembagian harta peninggalan.  
 
Diantara kekurangan di atas yang harus dilengkapi adalah :
 
i. Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
 
ii. Dibuat dengan akta standart seperti yang berlaku di notaris dilengkapi dengan undang-undang, syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.
 
b. Dibuat dihadapan notaris
 
Berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) pasal 15 dinyatakan bahwa “notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. 

Pasal 16 ayat (d), menyatakan bahwa “notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya”.
 
Kedudukan Notaris dan PPAT mempunyai kaitan erat (signifikansi) dengan pelaksanaan pembagian harta peninggalan secara damai (di luar pengadilan/non legitasi) terhadap orang yang tunduk kepada hukum perdata barat (BW) maupun orang Islam yang tunduk pada hukum Islam. Apabila selama ini berkembang anggapan umum bahwa profesi notaris melayani mereka yang tunduk kepada hukum perdata barat (BW) saja, sebenarnya hal itu tidak selalu benar. Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Amandemen UUPA, dan KHI, tugas notaris pada bidang kekeluargaan dan kewarisan dalam UU No 1 tahun 1974 dan KHI diantaranya sebagai berikut :
 
a. UU No 1/74 ; membuat perjanjian kawin.
 
b. UU No 1/74 ; membuat akta pemisahan harta bersama 
 
c. Pasal 195 ayat (1) KHI ; wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris.
 
d. Pasal 195 ayat (4) KHI ; Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.
 
e. Pasal 199 ayat (2) KHI ; Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang sakti atau bedasarkan akta Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
 
f. Pasal 199 ayat (3) KHI ; Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau bedasarkan Akta Notaris.
 
g. Pasal 199 ayat (4) KHI ; Bila wasiat dibuat bedasarkan akta Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan Akta Notaris.
 
h. Selanjutnya tentang tata cara penyimpanan surat-surat wasiat disebut dalam pasal-pasal 203, 204 dan 208 Kompilasi Hukum Islam.
 
Dalam pasal-pasal tersebut di atas dengan jelas disebutkan bahwa notaris mempunyai peran yang penting dalam hukum kekeluargaan khususnya bagi orang Islam.  
 
Selama ini para pejabat (hakim di Pengadilan Agama) belum mengetahui bagaimana membagi harta peninggalan secara profesional sebagaimana yang telah dilaksanakan notaris berdasarkan pasal 1074 KUHPerdata dan pasal-pasal dalam UUJN. Sedangkan para notaris mempunyai anggapan bahwa pembagian harta peninggalan adalah wewenang hakim Pengadilan Agama. Penulis menyimpulkan telah ada kekosongan hukum yang belum terisi tentang siapa yang sebenarnya membagi harta peninggalan secara profesional.  
 
Dalam buku Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, penulis telah memberikan contoh-contoh lengkap masalah atau kasus HWI dan bagaimana cara membuat akta-akta tersebut.


TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DAN KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT

TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 
DAN KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT 


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Baru pertama kali semenjak diterbitkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) diterbitkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 (selanjutnya disebut PP No. 37/1998), sebagai pelengkap dari Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah dan telah dijanjikan pada Pasal 7 PP 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24/1997). 

Menurut Prof. Dr A. P. Parlindungan, hal ini merupakan hal yang positif dalam pembangunan hukum keagrarian, karena keragu-raguan dan tidak teraturnya dengan peraturan hukum tertentu telah banyak menimbulkan khaos . Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No. 37/1998 ini telah banyak sekali kekacuan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT. 

Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No.37/1998 ini telah banyak sekali kekacauan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT, karena pelaksanaan tugas dari PPAT tidak tertuang dalam PMA No.18 Tahun 1961. PMA No.10 Tahun 1961 yang terdiri atas 10 Pasal hanya mengatur tentang daerah kerja PPAT, tentang kewenangan membuat akta tanah dalam daerah kerjanya dan keharusan meminta izin jika melakukan pembuatan akta tanah di lain daerah kerjanya dan berkantor di daerah kerjanya, kemudian siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT. Setelah dikeluarkannya PP No.37/1998, tugas dan ruang lingkup jabatan PPAT lebih jelas dan rinci meskipun dikalangan akademisi masih mempertanyakan keabsahan atau keotentikan dari akta yang dibuat PPAT.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat diatas dapat diajukan permasalahan, yaitu bagaimanakah tugas dan kewenangan jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998 dan peraturan perundangan lainnya ?

C. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari laporan ini yaitu ingin mengetahui dan memahami tugas dan kewenangan jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998 Dan peraturan perundangan lainnya.

BAB II
GAMBARAN UMUM KASUS

PP No.37/1998 ini telah dikeluarkan oleh pemerintah sudah 10 tahun lamanya, namun dalam pelaksanaannya masih banyak mahasiswa dan masyarakat belum mengetahui dan memahami secara seksama apa dan bagaimana isi PP No.37/1998 yang mengatur tentang jabatan PPAT tersebut. Seringkali pula ditemui adanya tumpang tindih pengetahuan antara jabatan Notaris dan PPAT. Padahal seperti diketahui keduanya merupakan 2 (dua) jabatan yang berbeda tugas dan kewenangannya.

Oleh sebab itu kami mencoba untuk menguraikan ruang lingkup pengangkatan, pemberhentian, daerah kerja, tugas dan kewenangan PPAT dalam menjalankan jabatannya dalam laporan ini.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian PPAT

Pasal 1 PP No.37/1998, menyebutkan :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2. PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya utnuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.
4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, asli akta, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta PPAT.
7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satuan daerah kerja PPAT.
8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya.
9. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan.

Apa yang diuraikan pada Pasal 1 ini, telah memperjelas tentang perngertian PPAT tersebut, sehingga kita mengenal beberapa PPAT. Disamping itu ada yang disebut protokol PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta-akta asli yang harus dijilid, warkah pendukung data, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya. Berbeda dengan protokol Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku klapper yang berisikan nama, alamat, pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan isi akta, nomor dan tanggal akta dibuat.

Formasi dari PPAT di sesuatu wilayah adalah maksimum boleh di tempatkannya PPAT di sesuatu wilayah dan ini telah diatur oleh Pasal 14 PP No.24/1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.640-679 tanggal 11 maret 1996.

Peraturan Menagria/KBPN no.1 tahun 1996 menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 1 :
Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan rumus sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini.

Formasi tersebut pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
y = a1×1 + a2×2 + b.
y = formasi PPAT di daerah tingkat II.
x1 = jumlah kecamatan dalam daerah tingkat II.
x2 = jumlah sertipikat non-proyek (sporadis) di daerah tingkat II rata-rata tiga tahun terakhir.
a1 = 4 untuk Kota di DKI Jakarta.
a1 = 3 untuk daerah tingkat II lainnya atau yang disamakan.
a2 = 1/1000
b = angka pembulatan ke atas sampai lipatan lima.

Formasi PPAT daerah tingkat II berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berakhir pada tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun penetapannya, dan ditetapkan kembali dengan mengikuti kemungkinan adanya perubahan pada rumus dimaksud pada diktum pertama ayat (2) untuk selama tiga tahun berikutnya dengan catatan apbila tidak ada perubahan maka rumus ini tetap dipergunakan. Formasi PPAT dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT Sementara yang dijabat oleh Camat selama masih diangkat sebagai PPAT.

Pada Pasal 2 ayat (2), menyebutkan Kabupaten/Kota tingkat II yang jumlah PPAT-nya telah mencapai jumlah sama atau lebih dari formasi yang ditetapkan dengan rumus dimaksud pada pasal 1 di atas dinyatakan tertutup untuk pengangkatan PPAT baru maupun pindahan dari daerah lain.

Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT tersebut membuat akta-akta PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu kantor pertanahan tertentu, namun tidak tertutup kemungkinan PPAT ini mempunyai daerah kerja lainnya. Banyak protes dari para Notaris maupun dari ikatan PPAT tentang wilayah para PPAT, seperti di daerah Jakarta Raya, karena ada Notaris-PPAT yang mempunyai wilayah se-Jakarta Raya, tetapi ada juga PPAT yang baru dilantik hanya daerah tingkat II di daerah Jakarta Raya.

B. Pengangkatan Dan Pemberhentian PPAT

Dalam Pasal 5 PP No.37/1998, diatur tentang pengangkatan PPAT, sebagai berikut :
(1) PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2) PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu.
(3) Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPA atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembutan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus ;
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;
b. Kepala Kantor Pertanian untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas reprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

Dari rumusan diatas dapat dipahami, bahwa :
a. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
b. Untuk suatu wilayah belum dipenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat ditunjuk Camat sebagai PPAT sementara, malahan jika ada suatu desa yang jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di kabupaten/kota dapat ditujunjuk Kepala desa sebagai PPAT sementara. Dengan ketentuan ini maka Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat terbukti dari surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT).
c. PPAT Khusus ini bertugas untuk melaksanakan perbuatan hukum atas Hak Guna Usaha (HGU), terutama dalam hal mutasi.


C. Pengangkatan, Pemberhentian dan Daerah Kerja PPAT

Ditentukan dalam Pasal 6 PP No.37/1998, sebagai berikut :
Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
1. berkewarganegaraan Indonesia;
2. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
3. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;
4. belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5. sehat jasmani dan rohani;
6. lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
7. lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional

Dengan adanya persyaratan dari Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT, yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kantor Pertanahan Nasional. 

Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa ujian ataupun yang belum pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT tidak akan mungkin. Kalaupun ada PPAT sementara Camat atau Kepala Desa maka tentunya pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas dispensasi tersebut.

Didalam Pasal 8 PP No.37/1998, disebutkan PPAT berhenti menjabat karena :
a. meninggal dunia; atau
b. telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
c. diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. diberhentikan oleh Menteri sementara dalam ayat (2) pasal tersebut menyebutkan :
(1) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.

(2) Ayat 1 huruf c merupakan suatu penyelesaian dari ada seseorang diangkat sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga menurut ketentuan ini yang bersangkutan berhenti sebagai PPAT, sungguh pun kalau masih ada lowongan di kota yang bersangkutan diangkat kembali sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris. 

(3) Hal ini sebagai solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan kemudian sebagai notaris di kota lain tetap memegang kedua jabatan tersebut dan tetap melakukan tugas-tugas PPAT dan notarisnya dan usahanya untuk diangkat sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris tidak dikabulkan oleh Kepala BPN hanya disuruh berhenti saja sebagai PPAT atau dia diangkat saja sebagai notaris di tempat ditunjuk sebagai PPAT.

Sedangkan ayat (2) merupakan ketegasan dari PPAT sementara ataupun PPAT khusus yang tidak mungkin melanjutkan tugas-tugasnya kalau mereka dipindahkan ataupun berhenti sebagai pejabat di daerah itu baik sebagai camat atau kepala desa dan demikian pula PPAT khusus itu dipindah ke lain jabatan ataupun berhenti ataupun pensiun sebagai pegawai negeri.

Pasal 10 PP No.37/1998, menyebutkan :
(1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
e. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.

(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengn hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
(4) PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh.

Sementara Daerah kerja PPAT diatur dalam Pasal 12 PP No.37/1998, sebagai berikut:
(1) Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.

Untuk daerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan menjadi 2 (dua) atau lebih tentunya dapat mengakibatkan perubahan daerah kerja PPAT didaerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan tersebut. Hal ini telah diatur dalam Pasal 13 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1)Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah tingkat II yang baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semua harus memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.

(2) Pemilihan daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru.

Dari rumusan diatas dapat dipahami bahwa dalam ayat (1) memberikan suatu kemudahan kepada PPAT untuk memilih salah satu wilayah kerjanya, dan jika ada kantor pertanahannya disitulah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk memilih, dan jika dia tidak memilih salah satu dari daerah tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi berwenang. Sedangkan dalam masa peralihan yang lamanya 1 (satu) tahun PPAT yang bersangkutan berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas satuan rumah Susun yang terletak di wilayah Daerah Tingkat II yang baru maupun yang lama.


D. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT

Pasal 2 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Sementara Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997, menyebutkan sebagai berikut :
1. pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.

3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan hukum (recording of deeds of conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).

Dalam Pasal 3 PP No.37/1998, disebutkan :
(1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan penunjukannya sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut. Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT yang secara khusus ditentukan.

Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal 21 PP No.37/1998, sebagai berikut :

(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT bersangkutan, dan
b. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal itulah yang membuat akta itu otentik.

BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Dikenalnya beberapa PPAT yaitu Notaris atau yang khusus menempuh ujian PPAT, ada pula PPAT sementara yaitu Camat atau Kepala Desa tertentu untuk melaksanakan tugas PPAT, karena di suatu daerah belum cukup PPAT.

2. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk suatu daerah kerja tertentu yang meliputi wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

3. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, perbuatan hukum dimaksud sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tangungan.

b. Saran
Mengingat masih adanya perbedaan pendapat di kalangan akedemisi mengenai keotentikan akta PPAT yang selama ini diatur melalui Peraturan Pemerintah maka sebaiknya Pemerintah beserta DPR segera membuat Undang-Undang mengenai PPAT.


HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

I. Pendahuluan

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).[1] Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.

Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[2] Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.[3] 


II. Pembahasan tentang Hukum Waris Islam

Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram, mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.

Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.[4]

Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadpi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.[5]

Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6] Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.[7]

Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak.[8] Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :

1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan

2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.

Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.

Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.

Di Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.[9] 

Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama).


III. Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.

Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.[10] Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.[11] Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.

Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12] 

Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.[13]

Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.[14] Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.[15]

Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%

Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.

Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]

Karena itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.

Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.[17] Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.[18]


IV. Penutup 

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan dan saran/harapan sebagai berikut :

1. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional (mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran hukum agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia

2. Di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap terutama mengenai hukum keluarga Islam termasuk hukum waris Islam Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern. Karena itu, hendaknya para ulama dan cendekiawan Muslim segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman.

3. Akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti dengan hukum nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

4. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri dan wewenang Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti semula sebelum ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.

Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.

Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.

Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.

___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983.

Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.

Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.



[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20

[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, penduduk Indonesia menurut agama berjumlah 147.490.298 jiwa yang beragama Islam 125.462.176 jiwa (87,09%), vide Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6, hlm. 20-21. Cf. Tabel 9, hlm. 26-27

[3] Mengenai pandangan Islam terhadap adat/hukum adat, vide Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm. 27-34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm/ 65-70

[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404

[5] Perhatikan al-Qur’an Surat al-Nisa ayat 11 dan 12

[6] Vide Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 66

[7] Ibid., hlm. 57

[8] Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat/fatwa hukum, vide Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981, hlm. 16-17. Dan mengenai metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Mazhab Empat, Ibid., hlm. 22-26

[9] Vide Muhammad Sallam Madkur, op.cit., hlm. 118-127

[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality before God.

[11] Vide Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10

[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.

[13] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25

[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m hlm. 24-25

[15] Ibid., hlm. 25

[16] Vide Masjfuk Zuhdi, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983, hlm. 39-40

[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi Snouck Hurgronje dengan argumentasinya masing-masing, vide Sajuti Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm. 65-72

[18] Perhatikan pasal 2 (sahnya perkawinan) pasal 29 (sahnya perjanjian perkawinan), dan penjelasan pasal 37 (harta benda suami istri yang cerai) menunjukkan berlakunya hukum agama termasuk hukum Islam Indonesia tanpa harus disandarkan berlakunya hukum Islam tersebut pada hukum adat, tetapi cukup berdasarkan secara langsung peraturan UU yang bersangkutan dalam hal ini UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Cara Membagi Waris Menurut KUH Perdata

Cara Membagi Waris Menurut KUH Perdata
 

Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).

Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.

Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada putusan.

Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Berhak Mendapatkan Warisan
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.

Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris).

Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.

Tidak Berhak Menerimanya
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.

Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Pengurusan Harta Warisan
Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan).

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.

Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.

Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.

Ayah
Ibu
Pewaris
Saudara
Saudara

B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
kakek
nenek
kakek
nenek

Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.

Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.


TIP
Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya.


Kewajiban Memiliki NPWP dalam Rangka Penjualan Tanah dan Bangunan

Kewajiban Memiliki NPWP dalam Rangka Penjualan Tanah dan Bangunan

Bagi Anda yang berencana menjual atau membeli tanah dan bangunan (rumah) dalam waktu dekat segeralah mengurus NPWP bagi yang belum memilikinya, karena Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan PER-35/PJ.2008 tanggal 9 September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan NPWP dalam Rangka Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. 

Hal-hal yang diatur dalam PER-35/PJ.2008 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Atas pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) dengan menggunakan SSB wajib dicantumkan NPWP yang dimilki Wajib Pajak yang bersangkutan, kecuali atas pembayaran BPHTB dengan NJOP kurang dari Rp 60.000.000
2. Atas pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dengan menggunakan SSP atas penghasilan dari pengalihan tanah dan atau bangunan, wajib dicantumkan NPWP Wajib Pajak yang dimilki Wajib Pajak yang bersangkutan , kecuali PPh yang dibayar kurang dari Rp 3.000.000

Jadi mulai tanggal 9 September 2008 setiap orang yang menjual atau membeli tanah dan/atau bangunan harus memiliki NPWP


Menentukan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB

Menentukan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak BPHTB


Dalam rangka penentuan Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 14/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan. 

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan, menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan ketentuan : 

1. untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); 

2. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Bersubsidi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 07/PERMEN/M/2008, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah); 

3. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); 

4. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada nomor 1, normor 2, dan nomor 3, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah); 

5. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 2 maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada angka 2 ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada angka 4; 

6. dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 4 lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada angka 3 maka Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada angka 3 ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada angka 4.


Latihan Perhitungan PBB & BPHTB

Latihan Perhitungan PBB & BPHTB

LATIHAN SOAL PBB 
Perum Perumnas mendirikan Rumah Susun dengan data sebagai data sebagai berikut:
a. Luas Tanah 7.000 M2, NJOP = Rp 394.000/ M2 (Kelas A22)
b. Luas Bangunan Hunian:
• tipe 21 (200 unit) 
• tipe 36 (100 unit) 
• tipe 48 (50 unit) 
Luas Bangunan Hunian = 10.200 M2
NJOP Bangunan Hunian = Rp 365.000/ M2 (Kelas A8)
c. Bangunan Bersama
 Tangga, Kaki Lima seluas 1.800 M2, Kelas A8
d. Bangunan Sarana
 Jalan, Tempat Parkir, dll = 2.000 M2, Kelas A8
Hitunglah PBB untuk masing-masing tipe hunian?
 Jawab:
 
NJOP Tanah 7.000 X 394.000 = 2.758.000.000 
NJOP Bangunan  
 - Hunian 10.200 X 365.000 = 3.723.000.000 
 - Bersama 1.800 X 365.000 = 657.000.000 
 - Sarana 2.000 X 365.000 = 730.000.000 
Jumlah NJOP Bangunan 5.110.000.000 
  
PBB Tipe 21  
NJOP Tanah 21/ 10.200 x 2.758.000.000 5.678.235  
NJOP Bangunan 21/ 10.200 x 5.110.000.000 10.520.588  
NJOP Dasar Pengenaan PBB 16.198.824  
NJOPTKP 12.000.000  
NJOP untuk Penghitungan PBB 4.198.824  
NJKP 20% X 4.198.824 839.765  
PBB terutang 0,50% X 839.765 4.199 
  
PBB Tipe 36  
NJOP Tanah 36/ 10.200 x 2.758.000.000 9.734.118  
NJOP Bangunan 36/ 10.200 x 5.110.000.000 18.035.294  
NJOP Dasar Pengenaan PBB 27.769.412  
NJOPTKP 12.000.000  
NJOP untuk Penghitungan PBB 15.769.412  
NJKP 20% X 15.769.412 3.153.882  
PBB terutang 0,50% X 3.153.882 15.769 
  
PBB Tipe 48  
NJOP Tanah 48/ 10.200 x 2.758.000.000 12.978.824  
NJOP Bangunan 48/ 10.200 x 5.110.000.000 24.047.059  
NJOP Dasar Pengenaan PBB 37.025.882  
NJOPTKP 12.000.000  
NJOP untuk Penghitungan PBB 25.025.882  
NJKP 20% X 25.025.882 5.005.176  
PBB terutang 0,50% X 5.005.176 25.026 
  
 
LATIHAN SOAL BPHTB 
SOAL 1
Pada tanggal 1 Maret 2008, Bapak Gideon membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Bogor dengan harga perolehan sebesar Rp500.000.000,. Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp50.000.000,- maka berapa BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Gideon? 
Jawab: NPOP = Rp 600.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp 550.000.000 Tarif 5% BPHTB = Rp 27.500.000 2. 
 
SOAL 2
Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp300 juta. Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp50 juta maka hitunglah BPHTB yang terutang? 
Jawab: NPOP = Rp 300.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp 250.000.000 Tarif 50% x 5% BPHTB = Rp 6.250.000 
 
SOAL 3
Sebuah perusahaan negara milik daerah ( BUMD Perpakiran ) menerima hak pengelolaan dari pemerintah sebidang tanah dan sebuah gedung untuk parkir dengan nilai pasar pada waktu penerbitan hak sebesar Rp1 milyar. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan SPPT PBB dengan NJOP sebesar Rp1,25 milyar. Apabila NPOPTKP atas daerah tersebut ditetapkan sebesar Rp50 juta maka hitunglah besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh BUMD Perpakiran tersebut? 
Jawab: 
NPOP = Rp 1.250.000.000 NPOPTKP = Rp 50.000.000 NPOPKP = Rp 1.200.000.000 Tarif 50% x 5% BPHTB = Rp 30.000.000 
 
SOAL 4
Bapak Krosbin Simatupang membeli sebidang tanah di Surabaya pada tanggal 5 Januari 2003 dengan harga perolehan menurut PPAT sebesar Rp.300.000.000,- dan BPHTBnya telah dibayar lunas pada tanggal tersebut. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu pada tanggal 7 Pebruari 2003, ternyata NJOP PBB atas tanah tersebut adalah sebesar Rp.350.000.000,- Pada tanggal 1 Maret 2003 diperoleh data baru (novum), ternyata transaksi yang benar atas tanah tersebut adalah sebesar Rp400.000.000,- Atas temuan-temuan tersebut diatas Kepala Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu telah menerbitkan SKBKB pada tanggal 7 Pebruari 2003 dan SKBKBT pada tanggal 1 Maret 2003. Berapa BPHTB yang harus dibayar oleh Bapak Krosbin Simatupang tersebut berdasarkan SKBKB dan SKBKBT yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB tersebut bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp50.000.000,- ? 
Jawab : 
• BPHTB yang telah dibayar pada tanggal 5 Januari 2003 adalah: 5% x (300.000.000 - 50.000.000) = Rp12.500.000, 
• BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 7 Pebruari 2003 : 5% x (350.000.000 - 50.000.000) = Rp15.000.000,- 
• BPHTB yang telah dibayar = Rp12.500.000,- 
• BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,- 
• Denda : 2 x 2% x Rp2.500.000,- = Rp 100.000,- SKBKB = Rp 2.600.000,- 3. BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 1 Maret 2003 : 5% x (400.000.000 - 50.000.000) = Rp17.500.000,- 
• BPHTB yang telah dibayar = Rp15.000.000,- 
• BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,- 
• Sanksi administrasi ( 100% ) = Rp 2.500.000,- SKBKBT = Rp 5.000.000,- 



BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
 
A. SUBJEK PAJAK (250304 ) 
1. Siapa Subjek BPHTB ?

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.  
 
B. OBJEK PAJAK (250304 )
1. Apa yang menjadi objek BPHTB ? 
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi: 
a. Pemindahan hak karena:
• jual beli; 
• tukar-menukar; 
• hibah; 
• hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia; 
• waris; 
• pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut; 
• pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama; 
• penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang; 
• pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut; 
• penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung; 
• peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut; 
• pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama; 
• hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah. 
  b. Pemberian hak baru karena:
• 1. kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak; 
• 2. di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
• o Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. 
• o Objek pajak yang diperoleh karena waris dan hibah wasiat pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 111 Tahun 2000; 
• o Objek pajak yang diperoleh karena pemberian hak pengelolaan pengenaan BPHTB-nya diatur lebih lanjut dengan PP Nomor 112 Tahun 2000; 
  2. Apa saja yang termasuk hak atas tanah ? 
Hak atas tanah meliputi : 
a. hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah; 
b. hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku; 
c. hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 
d. hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
e. hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
f. hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.  
 
3. Objek pajak apa saja yang tidak dikenakan BPHTB ?
• objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; 
• objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum; 
• objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut; 
• objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama; 
• objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf; 
• objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah. 
 
• o Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum. 
• o Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah. 
• o Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun. 
 
C. TARIF PAJAK (250304 )  
 
1. Berapa besarnya tarif BPHTB ? 
Tarif BPHTB adalah 5% (lima persen).  
 
D. DASAR PENGENAAN DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK (250304 )  
1. Apakah dasar pengenaan BPHTB ? 
Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu a. jual beli adalah harga transaksi;
• b. tukar-menukar adalah nilai pasar; 
• c. hibah adalah nilai pasar; 
• d. hibah wasiat adalah nilai pasar; 
• e. waris adalah nilai pasar; 
• f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar; 
• g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar; 
• h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar; 
• i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar; 
• j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar; 
• k. penggabungan usaha adalah nilai pasar; 
• l. peleburan usaha adalah nilai pasar; 
• m. pemekaran usaha adalah nilai pasar; 
• n. hadiah adalah nilai pasar; 
• o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang. 
Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang dipakai adalah NJOP PBB.  
• Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 
• Dalam hal NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 
 
2. Apa yang boleh dikurangkan dalam penghitungan BPHTB ?
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP diberikan untuk setiap perolehan hak sebagai pengurang penghitungan BPHTB terutang.  
3. Berapa besarnya NPOPTKP ?
NPOPTKP ditetapkan secara regional (setiap kabupaten/kota) paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, NPOPTKP regional paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).
• Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan untuk setiap kabupaten/kota dengan mempertimbangkan pendapat Pemda setempat. 
• Ketentuan besarnya NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 113 Tahun 2000. 
 
4. Bagaimana cara menghitung BPHTB terutang ?
• BPHTB terutang = 5 % x NPOP Kena Pajak; 
• NPOP Kena Pajak = NPOP - NPOPTKP. 
  
E. SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG (250304 )  
1. Kapan saat BPHTB terutang dan harus dilunasi ? Saat terutang dan pelunasan BPHTB untuk:
• a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat dan ditandatanginya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris; 
• b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 
• c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 
• d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan; 
• e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 
• f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta; 
• g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memuat antara lain nama pemenang lelang. 
• h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; 
• i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan; 
• j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; 
• k. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; 
• l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta; 
• m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta; 
• n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta; 
• o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. 
 
2. Dimana tempat BPHTB terutang?  
Tempat BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.  
 
F. PEMBAYARAN, PENETAPAN, DAN PENAGIHAN (250304 )
 
1. Sistem apakah yang dipakai sebagai dasar pemungutan BPHTB ? 
Sistem self assessment, dimana Wajib Pajak membayar BPHTB yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.  
2. Bagaimana cara membayar BPHTB ? 
BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).  
3. Dalam waktu berapa lama SKBKB dapat diterbitkan ?  
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah BPHTB yang terutang kurang dibayar.  
4. Berapa besarnya BPHTB terutang dalam SKBKB ?  
BPHTB terutang dalam SKBKB adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung mulai saat terutangnya BPHTB sampai dengan diterbitkannya SKBKB dimaksud.
 
5. Dalam waktu berapa lama SKBKBT dapat diterbitkan ?  
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya BPHTB, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah BPHTB yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB.  
6. Berapa besarnya BPHTB terutang dalam SKBKBT ?  
BPHTB terutang dalam SKBKBT adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut, kecuali Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
 
7. Bilamana STB diterbitkan ? 
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB) diterbitkan apabila : a. BPHTB yang terutang tidak atau kurang dibayar; b. dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran BPHTB sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.  
8. Berapa besarnya BPHTB terutang dalam STB ? 
BPHTB terutang dalam STB akibat tidak atau kurang dibayar dan akibat salah tulis dan atau hitung adalah BPHTB terutang yang belum atau kurang dibayar ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari jumlah kekurangan BPHTB tersebut untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya BPHTB.  
9. Bagaimana kedudukan STB dalam proses penagihan BPHTB ?  
STB mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak sehingga penagihannya dapat dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa.  
10. Apakah dasar penagihan BPHTB ?
• Dasar penagihan BPHTB adalah SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah. 
• Tata cara penagihan BPHTB diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan. 
 
11. Berapa lama jangka waktu pelunasan SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah?
• BPHTB terutang dalam SKBKB, SKBKBT, STB dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah BPHTB yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak; 
• Apabila sampai dengan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud tidak atau kurang dibayar, dapat ditagih dengan Surat Paksa, yaitu surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan (parate executie). 
  G. KEBERATAN, BANDING, DAN PENGURANGAN (250304 )  
1. Apa saja yang dapat diajukan permohonan keberatan BPHTB ? 
Yang dapat diajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak adalah : a. SKBKB, yaitu surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah BPHTB terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar; b. SKBKBT, yaitu surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah BPHTB yang telah ditetapkan; c. SKBLB, yaitu surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran BPHTB karena jumlah BPHTB yang telah dibayar lebih besar daripada BPHTB yang seharusnya terutang; d. SKBN, yaitu surat ketetapan yang menentukan jumlah BPHTB yang terutang sama besarnya dengan jumlah BPHTB yang dibayar..  
2. Bagaimana tata cara permohonan keberatan BPHTB ? 
• Membuat permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Kepala KPPBB dengan mengemukakan jumlah BPHTB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak disertai dengan alasan yang jelas, yaitu didukung dengan data atau bukti bahwa jumlah BPHTB yang terutang atau lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar; 
• Menyampaikan permohonan secara lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam batas waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya SKBKB, SKBKBT, SKBLB, atau SKBN; kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. 
• Melampirkan foto kopi sebagai berikut : 
• o Fotocopy SSB 
• o Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN 
• o Fotocopy Akta/Risalah Lelang/Surat Keputusan Pemberian Hak Baru/Putusan Hakim 
• o Fotocopy KTP/ Paspor / KK /identitas lain 
• Ø Permohonan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan; 
• Ø Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. 
 
3. Berapa lama jangka waktu penyelesaian permohonan keberatan BPHTB ?  
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Permohonan Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.  
4. Apa yang dapat disampaikan oleh Wajib Pajak sebelum keputusan keberatan BPHTB diterbitkan ?  
Sebelum surat keputusan keberatan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.  
5. Apa bentuk keputusan keberatan ?  
Keputusan Keberatan dapat berupa :
• menerima seluruhnya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan terbukti kebenarannya. 
• menerima sebagian, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan sebagian terbukti kebenarannya. 
• menolak, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan tidak terbukti kebenarannya. 
• menambah jumlah pajaknya, apabila data/bukti-bukti yang dilampirkan dalam pengajuan keberatan dan/atau diperoleh dalam pemeriksaan, mengakibatkan peningkatan jumlah BPHTB-nya. 
6. Apa yang dapat dilakukan Wajib Pajak jika permohonan keberatannya ditolak ?
• Wajib Pajak yang keberatannya ditolak dapat mengajukan banding ke Badan Pengadilan Pajak (BPP). 
• Permohonan dimaksud diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 
7. Apa bentuk putusan Banding ? 
Putusan Banding dapat berupa :
• - menolak; 
• - mengabulkan sebagian atau seluruhnya; 
• - menambah pajak yang harus dibayar; 
• - tidak dapat diterima; 
  8. Bagaimana sifat Putusan Banding ? 
Putusan Banding oleh BPP bukan merupakan putusan final dan dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.  
9. Bagaimana jika Putusan Banding menerima sebagian atau seluruhnya ? 
Apabila putusan banding menerima sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran BPHTB sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
 
10. Kepada siapa pengurangan BPHTB dapat diberikan ?  
Pengurangan BPHTB dapat diberikan Wajib Pajak melalui permohonan karena: a. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek BPHTB, atau b. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau c. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan.
 
H. PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN (250304 )  
1. Dalam hal apa terjadi kelebihan pembayaran BPHTB ? 
Kelebihan pembayaran BPHTB terjadi dalam hal : 
a. BPHTB yang dibayar lebih besar daripada yang seharusnya terutang; 
b. BPHTB yang dibayar tidak seharusnya terutang; 
c. permohonan pengurangan dikabulkan; 
d. pengajuan keberatan atas ketetapan BPHTB dikabulkan seluruhnya atau sebagian; 
e. permohonan banding terhadap keputusan keberatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian; 
f. perubahan peraturan. 
 
2. Bagaimanakah perlakuan atas kelebihan pembayaran BPHTB ? 
Kelebihan Pembayaran PBB dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak (restitusi), diperhitungkan dengan utang pajak lainnya, atau disumbangkan kepada Negara.
 
3. Dalam jangka waktu maksimal berapa lama KPPBB harus memberikan jawaban atas surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dimaksud ? 
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya surat permohonan secara lengkap dari Wajib Pajak. Apabila dalam jangka waktu tersebut surat keputusan tidak diterbitkan maka permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan serta Kepala KPPBB harus menerbitkan SKBLB dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
 
4. Apakah bentuk Surat Keputusan yang dapat diterbitkan atas pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB ? 
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan (sederhana dan lapangan) menerbitkan:
• SKBLB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah BPHTB yang terutang atau dilakukan pembayaran BPHTB yang tidak seharusnya terutang; 
• SKBN, apabila jumlah BPHTB yang dibayar sama dengan jumlah BPHTB yang terutang; 
• SKBKB, apabila jumlah BPHTB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah BPHTB yang seharusnya terutang. 
•  
5. Kapan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dilakukan ? 
Pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKBLB, yaitu dengan diterbitkannya Surat Perintah Membayar Kelebihan BPHTB (SPMKB) oleh Kepala KPPBB. Dalam hal Kepala KPPBB terlambat menerbitkan SPMKB, maka Wajib Pajak diberikan bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan sampai dengan diterbitkannya SPMKB dimaksud. 
 
I. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB (250304 )  
1. Bagaimana pengelolaan hasil penerimaan BPHTB ? 
Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut :
• - 20 % (duapuluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi secara merata ke setiap kabupaten/kota 
• - 16 % (enambelas persen) untuk propinsi; 
• - 64 % (enampuluh empat persen) untuk kabupaten/kota. 
 
J. KETENTUAN BAGI PEJABAT (250304 )  
1. Kapan Pejabat dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan, menandatangani risalah lelang, menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah (SKPH), mendaftar peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat ? 
• Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB. 
• Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB. 
• Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan SKPH hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB. 
• Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran berupa SSB. 
2. Apa sanksi bagi PPAT/Notaris atau Pejabat Lelang Negara yang menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan/risalah lelang tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB ? 
Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.  
3. Apa kewajiban PPAT/Notaris atau Pejabat Lelang Negara ?
• Melaporkan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak (KPPBB setempat) selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. 
 4. Apa sanksi bagi PPAT/Notaris yang tidak melaporkan pembuatan akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan ke KPPBB ? 
Dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.  
5. Apa sanksi bagi Pejabat Pertanahan yang menandatangani dan menerbitkan SKPH atau mendaftar peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat tanpa adanya bukti pembayaran berupa SSB ? 
Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.  
6. Apa sanksi bagi Kepala Kantor Lelang Negara yang tidak melaporkan pembuatan risalah lelang ke KPPBB ? 
Dikenakan sanksi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.



NORMA NORMA PENDAFTARAN TANAH

NORMA NORMA PENDAFTARAN TANAH

Mengacu kepada ketentuan perundangan pendaftaran Tanah di Indonesia yang ketentuan pelaksanaannya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mengkonstruksi norma-norma pendaftaran tanah di masyarakat, antara lain: 

Pertama, tahapan pemeriksaan berkas permohonan, mengkonstruksi norma keaktifan anggota masyarakat dalam membuktikan dirinya sebagai pemilik yang sah atas suatu bidang tanah. Termasuk dalam hal ini kesediaan anggota masyarakat memanfaatkan jasa PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang aktanya bermanfaat dalam memperkuat pembuktian kepemilikan atas tanah.

Kedua, tahapan pembayaran biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah, mengkonstruksi norma kesediaan anggota masyarakat membayar biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah.

Ketiga, tahapan penelitian data yuridis, mengkonstruksi norma ketelitian anggota masyarakat dalam menyiapkan alas hak atau bukti awal pemilikan tanah.

Keempat, tahapan pemeriksaan lapangan tentang kebenaran data yuridis, mengkonstruksi norma: 
(a) kejujuran anggota masyarakat dalam membuktikan kebenaran kepemilikan tanahnya; 
(b) kepedulian anggota masyarakat yang berbatasan dan berdekatan dengan pemilik tanah untuk bersedia memberikan informasi tentang tanah dimaksud.

Kelima, tahapan pengukuran bidang tanah untuk mengumpulkan data fisik, mengkonstruksi norma: 
(a) kesediaan pemilik tanah (anggota masyarakat) memasang tanda batas untuk menandai bidang tanah yang dimilikinya; 
(b) kesediaan pemilik tanah untuk berinteraksi dengan tetangga batas dalam penetapan batas bidang tanah, sebagai konsekuensi asas contradictoir delimitatie; 
(c) kepedulian tetangga batas (anggota masyarakat) untuk menghadiri penetapan batas bidang tanah ; 
(d) pengakuan pemilik tanah terhadap hasil pengukuran oleh petugas kantor pertanahan.

Keenam, tahapan pengumuman data yuridis dan data fisik, mengkonstruksi norma apresiasi (penghormatan) anggota masyarakat terhadap informasi pertanahan.

Ketujuh, tahapan pembukuan hak, mengkonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap budaya tulis atau budaya catat di bidang pertanahan, terutama yang berkaitan dengan pemilik tanah.

Kedelapan, tahapan penerbitan sertipikat hak atas tanah, mengkonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap hak dan kewajiban masyarakat sehubungan dengan telah dibuktikannya pemilikan atas suatu bidang tanah.
Kesembilan, tahapan penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon, mengkonstruksi norma kehati-hatian anggota masyarakat dalam menyimpan alat bukti yang kuat bagi pemilikan atas suatu bidang tanah.

Kesepuluh, tahapan paska penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon, mengkonstruksi norma kemampuan anggota masyarakat memanfaatkan sertipikat hak atas tanah yang ada padanya.