Kamis, 09 April 2009

ASAS ASAS DALAM HUKUM PERJANJIAN

*)
PENDAHULUAN


A. Sejarah

Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh Belanda yang telah menancapkan pilar-pilar ketentuan yang mengikat antara masyarakat dengan penguasa maupun masyarakat dengan masyarakat sendiri. Sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum Eropa atau disebut juga sistem hukum Romawi Jerman. 

Adapun sumber dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi kuno yang dikembangkan di benua Eropa (Eropa Kontinental) oleh negara-negara seperti Prancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain. Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan sumber berasal dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau private law atau civil law[1] yaitu hukum yang mengatur hubungan sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih terkenal dengan nama sistem hukum civil law.

Selain sistem civil law, juga dikenal dengan adanya sistem common law. Rene Devid dan John E.C. Brierley menyebutkan terdapat tiga sistem hukum yang dominan yakni sistem hukum: civil law, common law, dan socialist law. Namun, dalam perkembangannya sistem socialist law ini ternyata banyak dipengaruhi oleh sistem civil law dimana negara-negara sosialis banyak menganut sistem civil law.[2] Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa sistem hukum yang dominan hanya dua yaitu sistem hukum civil law dan common law.

Sistem common law bersumber dari hukum Inggris yang berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim (Judge) dalam keputusan-keputusan yang telah diambilnya (judge made law). 

Umumnya di negara dengan sistem hukum common law terdapat ketidakpastian hukum dan untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke-19 dipegang asas hukum yang bernama the rule of precedent yaitu keputusan-keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan pegangan atau keputusan hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya. The rule of precedent sering disebut juga sebagai doktrin stare decisis yang berarti sebagai to stand by (previous) decisions (berpegang/berpatokan pada putusan-putusan sebelumnya).[3]

Sistem hukum common law ini dianut oleh negara-negara yang berbahasa Inggris beserta dengan persemakmurannya, seperti negara Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan Australia. Kecuali negara bagian Lousiana di Amerika Serikat dan provinsi Quebec di Kanada yang menganut sistem hukum civil law.

Sekilas mengenai perbedaan antara civil law (Eropa Continental) dengan common law (Anglosaxon) dapat dilihat dari segi perkembangan keduanya. Perkembangan sistem civil law diilhami oleh para ahli hukum yang terdapat pada universitas-universitas, yang menentukan atau membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Sedangkan perkembangan sistem common law terletak pada putusan-putusan hakim, yang bukan hanya menerapkan hukum tetapi juga menetapkan hukum.[4]

Hukum di negara dengan sistem civil law pada umumnya ditujukan untuk menetapkan suatu kaidah atau norma yang berada di suatu lingkungan masyarakat untuk diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama yang mengatur dan menguasai sesama manusia. Jadi dapat dikatakan hukum terdapat dalam masyarakat manusia sehingga dalam setiap masyarakat selalu ada sistem hukum.[5] 

Hal ini sesuai adagium: ubi societas ibi jus yang artinya (dimana) ada masyarakat (disitu) ada hukum. Berbeda dengan sistem hukum common law yang tidak mengenal pembagian secara prinsipil atas hukum publik dan hukum perdata, maka pada sistem hukum civil law pembagian hukum publik dan hukum perdata (privat) merupakan hal yang sangat esensial. Hukum Publik lazimnya dirumuskan sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum dan mengatur hubungan penguasa dengan warga negaranya. Pelaksanaan peraturan hukum publik dilakukan oleh penguasa. 

Sedangkan Hukum Perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.[6] Perkataan “Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Keberadaan hukum perdata yang mengatur hubungan sesama manusia atau masyarakat merupakan warisan peninggalan politik Pemerintah Hindia Belanda. Pedoman politik bagi Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 Indische staatsregeling, yang dalam pokoknya sebagai berikut:[7]

Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula dengan Hukum Pidana besertas hukum Acara perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab atau undang-undang, yaitu yaitu dikodifisir.

Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi).

Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tiong Hoa, Arab, India dan sebagainya), jika ternyata “kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpanagn jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat mereka (ayat 2).

Orang Indonesia asli dan Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan dibawah suartu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan “menundukkan diri: pada hukum yang berlaku untuk bangsa eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).

Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis didalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu “Hukum Adat: (ayat 6).

Dengan adanya ketentuan tersebut diatas, maka pengaturan untuk tunduk terhadap hukum perdata dapat diklasifikasikan sehingga jelas aturan hukum yang mengatur hubungan antar sesama masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan sosial bagsa Indonseia saat itu, dapat pula kemungkinan terjadinya penundukan diri pada Hukum Eropa yang telah diatur dalam Staatsblaad 1917 No. 12. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, antara lain:[8]

Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
Penundukan pada sebagian hukum Perdata Eropa, yakni hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tiong Hoa;

Penundukan secara “diam-diam”, yang mengandung maksud jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa.

Pemerintah Hindia Belanda melakukan kodifikasi atas hukum perdata dengan memuat sekumpulan peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab yang bernama “Burgerlijk Wetboek” yang sekarang dikenal dengan istilah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, selanjutnya disebut KUHPer. Kitab hasil peninggalan warisan pemerintah Hindia Belanda ini hingga kini masih berlaku sebagai pedoman hukum materil. Adapun sistematika yang dipakai oleh KUHPer yang terdiri atas empat buku ini adalah sebagai berikut:

Buku I yang bertitel “Perihal Orang”, memuat hukum tentang diri seseorang dan Hukum Keluarga.

Buku II yang bertitel “Perihal Benda”, memuat hukum perbendaan serta Hukum Waris.

Buku III yang bertitel “Perihal Perikatan”, memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

Buku IV yang bertitel “perihal pembuktian dan Lewat Waktu (Daluarsa), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat lewat terhadap hubungan-hubungan hukum.Sedangkan Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazimnya dibagi dalam empat bagian, yaitu:[9]

Hukum tentang Diri Seseorang; memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.

Hukum Kekeluargaan; mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan.

Hukum Kekayaan; mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.

Hukum Warisan; mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seseorang jikalau ia meninggal.


B. Latar Belakang Hukum Perjanjian

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kemudian diterjemahkan oleh Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)[10] bahwa mengenai hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana hal tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Sedangkan menurut teori ilmu hukum, hukum perjanjian digolongkan kedalam Hukum tentang Diri Seseorang dan Hukum Kekayaan karena hal ini merupakan perpaduan antara kecakapan seseorang untuk bertindak serta berhubungan dengan hal-hal yang diatur dalam suatu perjanjian yang dapat berupa sesuatu yang dinilai dengan uang. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjian/kontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPer, antara lain sebagai berikut:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Istilah hukum perjanjian atau kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu contract law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomsrecht.[11] Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.[12] Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan anatara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. 

Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. 

Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum anatara dua orang atau dua pihak, berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 

Maka hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban. Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian/kontrak dapat dikemukakan sebagai berikut:[13]

1. Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.



2. Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.


3. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:
memberikan sesuatu;
berbuat sesuatu;
tidak berbuat sesuatu.

4. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus). Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.


5. Akibat hukum

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.


C. Permasalahan

Dalam aspek kegiatan hukum sehari-hari dibidang perekonomian banyak ditemukan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan dengan perjanjian atau kontrak antara dua pihak atau lebih. Umumnya mereka melakukan perjanjian-perjanjian dengan sistem terbuka, yang artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya kontrak dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 

Biasanya dalam suatu kontrak terdiri dari 6 (enam) bagian, yakni 
1. judul perjanjian, 
2. pembukaan, 
3. pihak-pihak dalam perjanjian, 
4. recital, 
5. isi perjanjian, dan 
6. penutup. 

Dari enam bagian tersebut terdapat beberapa klausula umum seperti :
1) wanprestasi, 
2) pilihan hukum dan pilihan forum, 
3) domisili, 
4) force majeur,
yang banyaknya tergantung dari kesepakatan para pihak. 

Keberadaan suatu kontrak tidak terlepas dari asas-asas yang mengikatnya. Asas-asas dalam berkontrak mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum. 

Namun demikian, seringkali ditemui ada beberapa kontrak yang dibuat tanpa berdasarkan asas-asas yang berlaku dalam suatu kontrak. Hal seperti ini terjadi karena disebabkan kekurangpahaman para pihak terhadap kondisi dan posisi mereka. Oleh karena itu timbulah pertanyaan meliputi asas-asas apa sajakah yang berlaku dalam melakukan suatu kontrak/perjanjian?


D. Tujuan

Pada kesempatan ini, kami mencoba memberikan pemaparan mengenai pentingnya perlindungan bagi para pihak dalam melakukan suatu kontrak/perjanjian ditinjau dari asas-asas berkontrak (contract principles). 

Tujuan umum dari makalah ini adalah untuk menyampaikan gambaran secara historis yuridis kepada khalayak umum mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat kontrak yang berkaitan dengan perbuatan hukum. 

Sedangkan tujuan khusus adalah untuk memahami karakteristik suatu kontrak yang bersifat terbuka yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan teori-teori Ilmu Hukum.


PEMBAHASAN

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa hukum kontrak/perjanjian diatur dalam Buku III KUHPer, yang terdiri atas 18 bab dan 631 pasal. Dimulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPer. Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah sebagai berikut: Perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum, perjanjian-perjanjian diatas disebut dengan perjanjian nominaat. Di luar KUHPer dikenal pula perjanjian lainnya, seperti kontrak joint venture, kontrak production sharing, leasing, franchise, kontrak karya, beli sewa, kontrak rahim, dan lain sebaginya. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.


A. Sistem Pengaturan Hukum Kontrak

Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka (open system), yang mengandung maksud bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur di dalam undang-undang. Dalam pasal 1338 ayat (1) secara tegas menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dianalisa lebih lanjut maka ketentuan pasal tersebut memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
4) menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Ditinjau dalam sejarah perkembangannya, hukum kontrak pada awalnya menganut sistem tertutup. Artinya para pihak terikat pada pengertian yang tercantum dalam undang-undang. Hal ini disebabkan adanya pengaruh dari ajaran legisme yang memandang bahwa tidak ada hukum di luar undang-undang. Hal serupa dapat ditemui dan dibaca dalam berbagai putusan Hoge Raad dari tahun 1910 sampai dengan tahun 1919.[14]Untuk diketahui bahwa putusan Hoge Raad (HR) 1919 tanggal 31 Januari 1919 merupakan putusan yang terpenting. Putusan ini tentang penafsiran perbuatan melawan hukum, yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPer.

Dalam putusan tersebut, definisi perbuatan melawan hukum, tidak hanya melawan undang-undang saja, tetapi juga melanggar hak-hak subyektif orang lain, kesusilaan dan ketertiban umum.Menurut HR 1919 yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang:
1) Melanggar hak orang lain; yang diartikan melanggar sebagian hak-hak pribadi seperti integritas tubuh, kebebasan, kehormatan, dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini hak-hak absolut sperti hak kebendaan, HKI, dan sebagainya.

2) Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; yakni hanya kewajiban yang dirumuskan dalam aturan undang-undang.
3) bertentangan dengan kesusilaan; artinya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu bertentangan dengan sopan santun yang tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
4) Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat;


Aturan tentang kecermatan terdiri atas dua kelompok, yakni:

1) aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya, dan

2) aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentingannya sendiri.

Putusan HR 1919 tidak lagi terikat kepada ajaran legisme, namun telah secara bebas merumuskan pengertian perbuatan melawan hukum, sebagaimana yang dikemukakan diatas.

Dengan demikian, sejak terbitnya putusan HR 1919 maka sistem pengaturan hukum kontrak berubah menjadi sistem terbuka.Jika ditelaah lebih lanjut maka definisi perbuatan melawan hukum yang dimaksud dalam HR 1919 serupa dengan salah satu syarat sahnya perjanjian yang keempat, yaitu suatu sebab yang halal, yang kemudian dikaitkan dengan Pasal 1337 KUHPer. Dengan demikian, penafsiran HR terhadap perbuatan melawan hukum itu mengacu kepada Pasal 1337 diatas mengenai suatu sebab yang terlarang, antara lain dilarang UU, berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.


B. Karakteristik Kontrak

Seperti diketahui bersama bahwa Hukum kontrak adalah bagian hukum perdata (privat). Hukum ini memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri (self imposed obligation). Disebut sebagai bagian dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang berkontrak[15]

Kontrak, dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak merupakan wujud dari kebebasan (freedom of contract) dan kehendak bebas untuk memilih (freedom of choice).[16]

Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain.[17] Tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai prinsip dasar pembentukan kontrak.


C. Asas-asas Hukum Kontrak

Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality). Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.[18] 

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. 

Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat sperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme.

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. 

Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. 

Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan (vermastchappelijking) hukum kontrak/perjanjian.


2. Asas Konsensualisme (concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.

3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.


4. Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.[19]

Kasus Sarong Arrest: Pada tahun 1918 suatu firma Belanda memesan pada pengusaha Jerman sejumlah sarong dengan harga sebesar 100.000 gulden. Karena keadaan memaksa sementara, penjual dalam waktu tertentu tidak dapat menyerahkan pesanan. Setelah keadaan memaksa berakhir, pembeli menuntut pemenuhan prestasi. Tetapi sejak diadakan perjanjian keadaan sudah banyak berubah dan penjual bersedia memenuhi pesanan tetapi dengan harga yang lebih tinggi, sebab apabila harga tetap sama maka penjual akan menderita kerugian, yang berdasarkan itikad baik antara para pihak tidak dapat dituntut darinya.

Pembelaan yang penjual ajukan atas dasar Pasal 1338 ayat (3) KUHPer dikesampingkan oleh HR dalam arrest tersebut. Menurut putusan HR tidak mungkin satu pihak dari suatu perikatan atas dasar perubahan keadaan bagaimanapun sifatnya, berhak berpatokan pada itikad baik untuk mengingkari janjinya yang secara jelas dinyatakan HR masih memberi harapan tentang hal ini denga memformulasikan: mengubah inti perjanjian atau mengesampingkan secara keseluruhan. Dapatkah diharapkan suatu putusan yang lebih ringan, jika hal itu bukan merupakan perubahan inti atau mengesampingkan secara keseluruhan.

Putusan HR ini selalu berpatokan pada saat dibuatnya oleh para pihak Apabila pihak pemesan sarong sebanyak yang dipesan maka penjual harus melaksanakan isi perjanjian tersebut, karena didasarkan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Kasus Mark Arrest: Sebelum Perang Dunia I, seorang warganegara Jerman memberi sejumlah pinjaman uang kepada seorang warganegara Belanda pada tahun 1924. dari jumlah tersebut masih ada sisa pinjaman tetapi karena sebagai akibat peperangan nilai Mark sangat menurun, maka dengan jumlah sisa tersebut hampir tidak cukup untuk membeli prangko sehingga dapat dimengerti kreditur meminta pembayaran jumlah yang lebih tinggi atas dasar devaluasi tersebut. 

Namun, Pasal 1757 KUHPer menyatakan “Jika saat pelunasan terjadi suatu kenakan atau kemunduran harga atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada saat itu.” Hoge Raad menimbang bahwa tidak nyata para pihak pada waktu mengadakan perjanjian bermaksud untuk mengesampingkan ketentuan yang bersifat menambah dan memutuskan bahwa orang Belanda cukup mengembalikan jumlah uang yang sangat kecil itu. 

Menurut Hakim pada badan peradilan tertinggi ini, tidak berwenang atas dasar itikad baik atau kepatutan mengambil tindakan terhadap undang-undang yang bersifat menambah.Putusan Mark Arrest ini sama dengan Sarong Arrest bahwa hakim terikat pada asa itikad baik, artinya hakim dalam memutus perkara didasarkan pada saat terjadinya jual beli atau saat penjam-meminjam uang. 

Apabila orang Belanda meminjam uang sebanyak 1000 gulden, maka orang Belanda tersebut harus mengembalikan sebanyak jumlah uang diatas, walaupun dari pihak peminjam berpendapat bahwa telah terjadi devaluasi uang.Berbeda dengan kondisi di Indonesia pada tahun 1997 dimana kondisi negara pada saat itu mengalami krisis moneter dan ekonomi. 

Pihak perbankan telah mengadakan perubahan suku bunga bank secara sepihak tanpa diberitahu kepada nasabah. Pada saat perjanjian kredit dibuat, disepakati suku bunga bank sebesar 16 % per tahun, akan tetapi setelah terjadi krisis moneter, suku bunga bank naik menjadi 21-24 % per tahun. Hal ini menandakan bahwa pihak nasabah berada pada pihak yang dirugikan karena kedudukan nasabah berada pada posisi yang lemah (low bargaining posistion). Oleh karena itu, pada masa-masa yang akan datang pihak kreditur harus melaksanakan isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakatinya, yang dilandasi pada asas itikad baik.


5. Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. 

Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” 

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.


D. Asas-asas Hukum Perikatan Nasional

Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional.[20] Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:
Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.


2. Asas Persamaan Hukum

Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

3. Asas Kesimbangan

Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.


4. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.


5. Asas Moralitas

Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.


6. Asas Kepatutan



Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.


7. Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.


8. Asas Perlindungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.


PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari pembicaraan diatas bahwa perjanjian/kontrak itu merupakan sumber perikatan yang terpenting. Dari apa yang diterangkan di situ dapat kita lihat bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian sehingga perjanjian yang mereka buat merupakan undang-undang bagi mereka untuk dilaksanakannya. 

Untuk memahami dan membentuk suatu perjanjian maka para pihak harus memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPer, yakni syarat subjektif: adanya kata sepakat untuk mengikatkan dirinya dan kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, sedangkan syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Oleh sebab itu, dalam melakukan perbuatan hukum membuat suatu kontrak/perjanjian haruslah pula memahami asas-asas yang berlaku dalam dasar suatu kontrak/perjanjian antara lain: asas kebebasan berkontrak, asas konsesnsualisme, asas kepastian hukum/pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian. Dari kelima asas yang berdasarkan teori ilmu hukum tersebut ditambahkan delapan asas hukum perikatan nasional yang merupakan hasil rumusan bersama berdasarkan kesepakatan nasional antara lain: asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moralitas, asas kepatutan, asas kebiasaan dan asas perlindungan. Dengan demikian telah diketahui bersama mengenai asas-asas yang berlaku secara umum dalam hal membentuk atau merancang suatu kontrak di dalam kegiatan hukum.


B. Saran

Bagi para pihak yang akan membuat atau mengadakan suatu perjanjian/kontrak hendaklah terlebih dahulu memahami dan mengerti mengenai dasar-dasar suatu perjanjian, terlebih lagi mengenai asas-asas yang berlaku dalam berkontrak sebelum menandatangani perjanjian/kontrak tersebut sehingga dapat terhindari hal-hal yang tidak diinginkan dan terlaksananya tujuan melakukan kontrak. Sangat disarankan pula bagi para pihak minimal membaca dan mengerti akan kontrak yang akan ditandatanganinya sehingga jelas akan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam berkontrak. Umumnya hal ini ditujukan kepada pihak tertentu yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lemah.

* * * Catatan Akhir

[1] Rene Devid and John. E.C. Brierley: “Major Legal Systems in the World Today,” Second Edition, (London: Stevens & Sons, 1978), hal. 21.

[2] Ibid, hal. 25.

[3] Hardijan Rusli, SH, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law,” Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 16.

[4] Ibid.

[5] Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, “Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,” Cet. Kedua, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999), hal. 28.

[6] Ibid, hal. 122.

[7] Prof. Subekti, SH, “Pokok-pokok Hukum Perdata,” Cet. XXVI, (Jakarta: PT. Intermasa, 1994), hal. 11.

[8] Ibid, hal. 12

[9] Ibid, hal. 16

[10] Prof. R. Subekti, SH dan R. Tjitrosudibio, “Kitab Undang-undang Hukum Perdata=Burgerlijk Wetboek (terjemahan),” Cet. 28, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996), hal. 323.

[11] Salim H.S, SH, MS, “Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,” Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 3,

[12] Prof. Subekti, SH, “Hukum Perjanjian,” Cet. XII, (Jakarta: PT. Intermasa, 1990), hal. 1.

[13] Salim HS, SH, MS, op.cit, hal. 4.

[14] Ibid, hal, 8.

[15] Atiyah, “The Law of Contract,” (London: Clarendon Press, 1983), hal 1.

[16] Ibid, hal. 5.

[17] Ibid, hal. 13.

[18] Salim HS, SH, MS, op.cit, hal. 9.

[19] Ibid, hal, 11.

[20] Tim Naskah Akademis BPHN, “Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan,” (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985)

DAFTAR PUSTAKA

Atiyah. The Law of Contract. London: Clarendon Press, 1983.

Devid, Rene and John. E.C. Brierley. Major Legal Systems in the World Today. London: Stevens & Sons, 1978.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1999.

Rusli, Hardijan. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Salim H.S. Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II. Sinar Grafika, 2004.

Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Cet. XXVI, PT. Intermasa, 1994.

______ dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata = Burgerlijk Wetboek (terjemahan). Cet. 28. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. 1996.

Tim Naskah Akademik BPHN. Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Deparetmen Kehakiman RI, 1985.

* Alumni Magister Hukum Universitas Indonesia dan Staf pada Indonesia Future Institute (IFI) Jakarta.


*) Makalah disampaikan oleh S Imran SH

Selasa, 17 Maret 2009

KEDUDUKAN HUKUM WARIS INDONESIA

KEDUDUKAN HUKUM WARIS INDONESIA
(Materi Perkuliahan)


Kedudukan dan Perlakuan Hukum terhadap tanah yang alas buktinya baru berupa Girik tidak dapat dilakukan peralihannya melalui akte van transport berupa akta AJB yang dibuat oleh/dihadapan PPAT, tepapi dapat dilakukan dengan akta Pelepasan dan Penyerahan Hak atau akte Pengoperan Hak atau akte Pengikatan akan jual beli di hadapan Notaris. Untuk ketiga macam akte mana harus di sesuaikan dengan tindak lanjut perbuatan hukum mana yang dipilih. Jika Giriknya masih atas nama Pewaris, dimana di dalam premisse akta harus dicantumkan bahwa tanah yang dialihak/dioperkan hak tersebut adalah tanah yang berasal dari hak waris. Hak Waris mana harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Hak Waris, yang dibuat/dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang (tergantung dengan penundukan hukum apa) di yang dipakai 
 
Sebagai penyegaran untuk mengingat kembali bahwa sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah yang menetapkan salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah masalah kewarisan. Meskipun di Jawa dan Madura Pengadilan Agama tidak menyelesaikan masalah warisan, tetapi Pengadilan Agama mengeluarkan “Fatwa Waris” yang sangat dibutuhkan oleh para pencari keadilan.  

Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.  
 
Namun demikian materi HWI tetap berada dalam buku II KHI yang berpayung hukum pada Inpres No. 1 tahun 1991. 
 
Dalam praktek pelaksanaan wewenang tersebut, saat ini menurut kami ada beberapa hal yang perlu dilengkapi dan disempurnakan, antara lain :
 
1. Materi HWI
 
Mempelajari materi HWI hukumnya fardlu kifayah. Artinya jika sudah ada sebagian orang yang mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban yang lain. Namun melaksanakan HWI dalam membagi harta peninggalan adalah fardlu ‘ain. Artinya setiap orang Islam wajib melaksanakan hukum waris Islam jika ia membagi waris. Tidak gugur kewajibannya sehingga ia melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan Allah(Qs.4:13-14).  
 
Dalam mempelajari hukum waris Islam, kendala yang umum dihadapi adalah : 
 
a. Orang merasa sulit mempelajarinya karena melibatkan beberapa ilmu lain, seperti : matematika, akuntansi, bahasa, penilaian atau penaksiran harta, pertanahan, dll.
 
b. Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, jika HWI ini tidak senantiasa dipakai akan cepat lupa dan hilang. Sementara peristiwa kematian jarang terjadi.
 
c. Persentase pembagian harta dalam HWI sangat tergantung keberadaan ahli waris saat pewaris meninggal. Oleh karena itu, diperlukan metode untuk memahami siapa-siapa ahli waris yang berhak mendapat harta peninggalan dan berapa bagian masing-masing ahli waris.  
 
d. Beberapa mazhab dalam Islam memiliki perbedaan dalam menetapkan ahli waris, menghitung dan membagi harta peninggalan pewaris.  
 
e. Tidak semua orang yang mati meninggalkan harta yang patut menjadi urusan penting.
 
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas antara lain : 
 
a. Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan KHI dengan dasar Inpres/1991. Dalam perkembangannya, saat ini buku I KHI (tentang perkawinan) telah diundang-undangkan (UU No.1/1974), buku III KHI (tentang wakaf) telah diundang-undangkan (UU No.40/2006). Sudah selayaknya buku II KHI (tentang waris) juga dibuat Undang-Undang.  
 
b. Telah dikembangkannya metode gambar sebagai salah satu alternatif cara memahami siapa saja ahli waris yang berhak mendapat pembagian harta peninggalan.
 
c. Kami telah mengembangkan software waris Islam, yang dapat menetapkan ahli waris yang berhak, persentase bagian ahli waris, sekaligus menghitungnya jika diketahui jumlah harta peninggalan pewaris.
 
Solusi di atas perlu disosialisasikan baik melalui seminar, pelatihan, maupun workshop. Selain itu diperlukan sharing diantara pejabat teras di lingkungan notaris (INI), Departemen Agama dan Departemen Hukum dan HAM. 
 
 
2. Keterangan Waris
 
Surat keterangan waris bagi penduduk asli Indonesia yang dibuat oleh para ahli waris dan diketahui oleh RT/RW, lurah dan camat didasarkan pada surat Mendagri Dirjen Agraria Kep. Direktorat P.T u.b. Kepala Pembinaan Hukum (R. Supanji) No. Djt/12/63/69 (20-12-1969). Surat edaran Dirjen ini dapat dikatakan kurang tepat, dikarenakan dalam isi surat tersebut dikatakan bahwa “Penduduk asli ‘bagaimana berlaku’ hukum adat”. Padahal pribumi yang Islam tidak tunduk pada hukum adat, melainkan hukum Islam.  
  
 
Kemudian apabila dicermati dengan teliti, akan ditemukan bahwa : 
 
a. Format keterangan waris yang diketahui oleh RT/RW, lurah, camat ini tidak memiliki standart. Bentuknya bermacam-macam. 
 
b. Data-data yang terdapat dalam keterangan waris kurang akurat. Tidak terdapat data yang berkaitan dengan wasiat. Padahal wasiat adalah hal yang umum ada di masyarakat.  
 
c. Demikian pula dari sisi kebenarannya, keterangan waris masih dipertanyakan otentitasnya. Seringkali apa yang tertulis dalam keterangan waris berbeda dengan kenyataan sebenarnya, seperti : tidak seluruh ahli waris tercantum dalam keterangan waris, bahkan ahli waris tidak menandatanginya di hadapan lurah dan camat yang bersangkutan. 
 
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan peraturan setingkat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengurusan keterangan waris seperti halnya notaris membuat keterangan waris untuk warga keturunan Tionghoa dan orang barat.
 
3. Keputusan atau Ketetapan Tentang Ahli Waris di Pengadilan Agama
 
Berdasarkan pasal 49 UUPA yang telah diamandemen menjadi UU No.3 tahun 2006, mekanisme keputusan atau ketetapan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :
 
a. Sengketa/contensius. Apabila terjadi sengketa diantara ahli waris, yang bersangkutan datang ke Pengadilan Agama mengajukan perkaranya. Pengadilan Agama akan menetapkan putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat berbagai pihak untuk tunduk pada keputusan tersebut.
 
b. Tanpa sengketa/voluntair. Untuk menghindari terjadinya sengketa dalam pembagian harta peninggalan, ahli waris membagi secara damai dan datang ke Pengadilan Agama memohon penetapan. Pengadilan Agama akan mengeluarkan ketetapan berupa Permohonan Penetapan Pembagian Harta Peninggalan/P3HP (psl 49 dan 107 UUPA). P3HP yang dikeluarkan Pengadilan Agama menurut penulis memiliki beberapa kekurangan, antara lain :
 
i. Terbitnya P3HP hanya didasarkan pada mekanisme dan acara singkat, artinya tidak seperti mekanisme dan acara yang ditetapkan oleh hukum acara sebagaimana mekanisme dan acara bagi suatu perkara (sengketa), Misalnya : Tidak dilakukan publikasi (pengumuman) secara terbuka yang fungsinya memberi kesempatan kepada “siapapun” (pihak ketiga) yang mungkin mempunyai kepentingan dengan harta peninggalan yang akan dibagi tersebut. Pengumuman ini bisa dilakukan di kantor Pengadilan Agama setempat (yang bersangkutan dengan status para ahli waris), di kantor kelurahan atau kantor kecamatan maupun di kantor pertanahan jika menyangkut harta peninggalan yang berupa tanah. Pengumuman itu juga dapat dilakukan melalui mass media cetak seperti surat kabar harian terutama yang beredar di daerah tempat meninggalnya pewaris. Dilihat dari segi proses pembuatannya ini, maka isi keterangan yang tercantum dalam P3HP mengandung kelemahan yang bersifat materiil.
 
ii. Pembuatan P3HP tidak disertai dengan pengecekan di Daftar Pusat Wasiat (Departemen Kehakiman). Seharusnya hakim agama melakukan hal ini untuk membuktikan tentang ada-tidaknya wasiat yang dibuat oleh almarhum semasa hidupnya, baik wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ataupun wasiat di bawah tangan.
 
iii. Di dalam P3HP pada umumnya juga belum dicantumkan nilai penaksiran (appresial) yang seharusnya dilakukan oleh juru taksir yang profesional. Selama ini nilai penaksiran yang dilakukan oleh “orang” atas harta peninggalan hanya didasarkan atas kesepakatan para ahli waris saja(pasal 187 KHI), artinya hanya bersifat kekeluargaan. Seharusnya jika penaksiran dilakukan oleh orang atau badan yang profesional dan netral (tidak berpihak pada kepentingan salah satu ahli waris), maka akan diperoleh nilai penaksiran yang akurat dan obyektif.
 
Kekurangan P3HP baik yang bersifat teknis (mekanisme dan prosedur pembuatannya) maupun substansi (isi P3HP) seperti yang selama ini terjadi dalam praktek, diharapkan dapat diperbaiki oleh hakim agama sehingga pelaksanaan pembagian itu dapat memenuhi persyaratan hukum sebagaimana ditentukan dalam pasal 49 ayat (3) Undang-undang Peradilan Agama.
 
4. Pelaksanaan Pembagian Harta Peninggalan
 
Pelaksanaan pembagian harta peninggalan dapat dilakukan oleh para ahli waris maupun notaris, dengan penjelasan sebagai berikut :
 
a. Dilakukan oleh para ahli waris (psl 187 KHI)
 
  Umumnya masyarakat membagi sendiri harta peninggalan pewaris. Pembagian semacam ini terkadang menimbulkan masalah. Tidak adanya appresial membuat harta yang dibagi tidak proporsional. Kemungkinan ada unsur subyektivitas, padahal kerelaan para ahli waris yang menjadi acuan dalam pembagian harta peninggalan.  
 
Diantara kekurangan di atas yang harus dilengkapi adalah :
 
i. Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
 
ii. Dibuat dengan akta standart seperti yang berlaku di notaris dilengkapi dengan undang-undang, syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.
 
b. Dibuat dihadapan notaris
 
Berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) pasal 15 dinyatakan bahwa “notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”. 

Pasal 16 ayat (d), menyatakan bahwa “notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya”.
 
Kedudukan Notaris dan PPAT mempunyai kaitan erat (signifikansi) dengan pelaksanaan pembagian harta peninggalan secara damai (di luar pengadilan/non legitasi) terhadap orang yang tunduk kepada hukum perdata barat (BW) maupun orang Islam yang tunduk pada hukum Islam. Apabila selama ini berkembang anggapan umum bahwa profesi notaris melayani mereka yang tunduk kepada hukum perdata barat (BW) saja, sebenarnya hal itu tidak selalu benar. Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Amandemen UUPA, dan KHI, tugas notaris pada bidang kekeluargaan dan kewarisan dalam UU No 1 tahun 1974 dan KHI diantaranya sebagai berikut :
 
a. UU No 1/74 ; membuat perjanjian kawin.
 
b. UU No 1/74 ; membuat akta pemisahan harta bersama 
 
c. Pasal 195 ayat (1) KHI ; wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris.
 
d. Pasal 195 ayat (4) KHI ; Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.
 
e. Pasal 199 ayat (2) KHI ; Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang sakti atau bedasarkan akta Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
 
f. Pasal 199 ayat (3) KHI ; Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau bedasarkan Akta Notaris.
 
g. Pasal 199 ayat (4) KHI ; Bila wasiat dibuat bedasarkan akta Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan Akta Notaris.
 
h. Selanjutnya tentang tata cara penyimpanan surat-surat wasiat disebut dalam pasal-pasal 203, 204 dan 208 Kompilasi Hukum Islam.
 
Dalam pasal-pasal tersebut di atas dengan jelas disebutkan bahwa notaris mempunyai peran yang penting dalam hukum kekeluargaan khususnya bagi orang Islam.  
 
Selama ini para pejabat (hakim di Pengadilan Agama) belum mengetahui bagaimana membagi harta peninggalan secara profesional sebagaimana yang telah dilaksanakan notaris berdasarkan pasal 1074 KUHPerdata dan pasal-pasal dalam UUJN. Sedangkan para notaris mempunyai anggapan bahwa pembagian harta peninggalan adalah wewenang hakim Pengadilan Agama. Penulis menyimpulkan telah ada kekosongan hukum yang belum terisi tentang siapa yang sebenarnya membagi harta peninggalan secara profesional.  
 
Dalam buku Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, penulis telah memberikan contoh-contoh lengkap masalah atau kasus HWI dan bagaimana cara membuat akta-akta tersebut.


TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DAN KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT

TUGAS DAN WEWENANG PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH 
DAN KEDUDUKAN HUKUM AKTA PPAT 


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Baru pertama kali semenjak diterbitkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) diterbitkan suatu Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1998 (selanjutnya disebut PP No. 37/1998), sebagai pelengkap dari Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah dan telah dijanjikan pada Pasal 7 PP 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24/1997). 

Menurut Prof. Dr A. P. Parlindungan, hal ini merupakan hal yang positif dalam pembangunan hukum keagrarian, karena keragu-raguan dan tidak teraturnya dengan peraturan hukum tertentu telah banyak menimbulkan khaos . Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No. 37/1998 ini telah banyak sekali kekacuan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT. 

Dalam kurun waktu 1961 hingga diterbitkannya PP No.37/1998 ini telah banyak sekali kekacauan dan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan pembuatan akta PPAT, karena pelaksanaan tugas dari PPAT tidak tertuang dalam PMA No.18 Tahun 1961. PMA No.10 Tahun 1961 yang terdiri atas 10 Pasal hanya mengatur tentang daerah kerja PPAT, tentang kewenangan membuat akta tanah dalam daerah kerjanya dan keharusan meminta izin jika melakukan pembuatan akta tanah di lain daerah kerjanya dan berkantor di daerah kerjanya, kemudian siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT. Setelah dikeluarkannya PP No.37/1998, tugas dan ruang lingkup jabatan PPAT lebih jelas dan rinci meskipun dikalangan akademisi masih mempertanyakan keabsahan atau keotentikan dari akta yang dibuat PPAT.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat diatas dapat diajukan permasalahan, yaitu bagaimanakah tugas dan kewenangan jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998 dan peraturan perundangan lainnya ?

C. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari laporan ini yaitu ingin mengetahui dan memahami tugas dan kewenangan jabatan PPAT sebagaimana diatur dalam PP No.37/1998 Dan peraturan perundangan lainnya.

BAB II
GAMBARAN UMUM KASUS

PP No.37/1998 ini telah dikeluarkan oleh pemerintah sudah 10 tahun lamanya, namun dalam pelaksanaannya masih banyak mahasiswa dan masyarakat belum mengetahui dan memahami secara seksama apa dan bagaimana isi PP No.37/1998 yang mengatur tentang jabatan PPAT tersebut. Seringkali pula ditemui adanya tumpang tindih pengetahuan antara jabatan Notaris dan PPAT. Padahal seperti diketahui keduanya merupakan 2 (dua) jabatan yang berbeda tugas dan kewenangannya.

Oleh sebab itu kami mencoba untuk menguraikan ruang lingkup pengangkatan, pemberhentian, daerah kerja, tugas dan kewenangan PPAT dalam menjalankan jabatannya dalam laporan ini.


BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian PPAT

Pasal 1 PP No.37/1998, menyebutkan :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
2. PPAT Sementara adalah pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT Khusus adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya utnuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.
4. Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
5. Protokol PPAT adalah kumpulan dokumen yang harus disimpan dan dipelihara oleh PPAT yang terdiri dari daftar akta, asli akta, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya.
6. Warkah adalah dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta PPAT.
7. Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan dalam satuan daerah kerja PPAT.
8. Daerah kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukan kewenangan seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya.
9. Menteri adalah Menteri yang bertanggungjawab di bidang agraria/pertanahan.

Apa yang diuraikan pada Pasal 1 ini, telah memperjelas tentang perngertian PPAT tersebut, sehingga kita mengenal beberapa PPAT. Disamping itu ada yang disebut protokol PPAT yang terdiri dari daftar akta, akta-akta asli yang harus dijilid, warkah pendukung data, arsip laporan, agenda dan surat-surat lainnya. Berbeda dengan protokol Notaris masih ada yang tidak termasuk yaitu buku klapper yang berisikan nama, alamat, pekerjaan, akta tentang apa dan singkatan isi akta, nomor dan tanggal akta dibuat.

Formasi dari PPAT di sesuatu wilayah adalah maksimum boleh di tempatkannya PPAT di sesuatu wilayah dan ini telah diatur oleh Pasal 14 PP No.24/1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 1996 dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.640-679 tanggal 11 maret 1996.

Peraturan Menagria/KBPN no.1 tahun 1996 menyebutkan sebagai berikut :

Pasal 1 :
Formasi PPAT di Kabupaten/Kota daerah tingkat II ditetapkan berdasarkan rumus sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini.

Formasi tersebut pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
y = a1×1 + a2×2 + b.
y = formasi PPAT di daerah tingkat II.
x1 = jumlah kecamatan dalam daerah tingkat II.
x2 = jumlah sertipikat non-proyek (sporadis) di daerah tingkat II rata-rata tiga tahun terakhir.
a1 = 4 untuk Kota di DKI Jakarta.
a1 = 3 untuk daerah tingkat II lainnya atau yang disamakan.
a2 = 1/1000
b = angka pembulatan ke atas sampai lipatan lima.

Formasi PPAT daerah tingkat II berdasarkan Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berakhir pada tanggal 24 september tahun ketiga sejak tahun penetapannya, dan ditetapkan kembali dengan mengikuti kemungkinan adanya perubahan pada rumus dimaksud pada diktum pertama ayat (2) untuk selama tiga tahun berikutnya dengan catatan apbila tidak ada perubahan maka rumus ini tetap dipergunakan. Formasi PPAT dalam peraturan ini berlaku pula untuk PPAT Sementara yang dijabat oleh Camat selama masih diangkat sebagai PPAT.

Pada Pasal 2 ayat (2), menyebutkan Kabupaten/Kota tingkat II yang jumlah PPAT-nya telah mencapai jumlah sama atau lebih dari formasi yang ditetapkan dengan rumus dimaksud pada pasal 1 di atas dinyatakan tertutup untuk pengangkatan PPAT baru maupun pindahan dari daerah lain.

Daerah kerja suatu PPAT adalah yang menunjukan kewenangan dari PPAT tersebut membuat akta-akta PPAT. Daerah ini pada umumnya meliputi satu kantor pertanahan tertentu, namun tidak tertutup kemungkinan PPAT ini mempunyai daerah kerja lainnya. Banyak protes dari para Notaris maupun dari ikatan PPAT tentang wilayah para PPAT, seperti di daerah Jakarta Raya, karena ada Notaris-PPAT yang mempunyai wilayah se-Jakarta Raya, tetapi ada juga PPAT yang baru dilantik hanya daerah tingkat II di daerah Jakarta Raya.

B. Pengangkatan Dan Pemberhentian PPAT

Dalam Pasal 5 PP No.37/1998, diatur tentang pengangkatan PPAT, sebagai berikut :
(1) PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(2) PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu.
(3) Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPA atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembutan akta PPAT tertentu, Menteri dapat menunjuk pejabat-pejabat di bawah ini sebagai PPAT Sementara atau PPAT Khusus ;
a. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;
b. Kepala Kantor Pertanian untuk melayani pembuatan akta PPAT yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi negara sahabat berdasarkan asas reprositas sesuai pertimbangan dari Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.

Dari rumusan diatas dapat dipahami, bahwa :
a. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
b. Untuk suatu wilayah belum dipenuhi formasi pengangkatan PPAT dapat ditunjuk Camat sebagai PPAT sementara, malahan jika ada suatu desa yang jauh sekali letaknya dan jauh dari PPAT yang terdapat di kabupaten/kota dapat ditujunjuk Kepala desa sebagai PPAT sementara. Dengan ketentuan ini maka Camat tidak otomatis diangkat sebagai PPAT Sementara (dapat terbukti dari surat pengangkatannya dan telah disumpah sebagai PPAT).
c. PPAT Khusus ini bertugas untuk melaksanakan perbuatan hukum atas Hak Guna Usaha (HGU), terutama dalam hal mutasi.


C. Pengangkatan, Pemberhentian dan Daerah Kerja PPAT

Ditentukan dalam Pasal 6 PP No.37/1998, sebagai berikut :
Syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :
1. berkewarganegaraan Indonesia;
2. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
3. berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;
4. belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
5. sehat jasmani dan rohani;
6. lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi;
7. lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional

Dengan adanya persyaratan dari Pasal 6 ini, maka sudah jelas siapa yang dapat diangkat sebagai PPAT, yaitu telah mendapat pendidikan khusus spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diadakan oleh lembaga pendidikan tinggi di samping harus pula lulus dari ujian yang diadakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/Kantor Pertanahan Nasional. 

Dengan demikian kemungkinan diangkat sebagai PPAT tanpa ujian ataupun yang belum pernah mendapatkan pendidikan khusus tentang PPAT tidak akan mungkin. Kalaupun ada PPAT sementara Camat atau Kepala Desa maka tentunya pemerintah perlu mengatur dengan suatu Peraturan Menteri atas dispensasi tersebut.

Didalam Pasal 8 PP No.37/1998, disebutkan PPAT berhenti menjabat karena :
a. meninggal dunia; atau
b. telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
c. diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. diberhentikan oleh Menteri sementara dalam ayat (2) pasal tersebut menyebutkan :
(1) PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan b, atau diberhentikan oleh Menteri.

(2) Ayat 1 huruf c merupakan suatu penyelesaian dari ada seseorang diangkat sebagai PPAT, tetapi kemudian diangkat sebagai notaris di kota lain, sehingga menurut ketentuan ini yang bersangkutan berhenti sebagai PPAT, sungguh pun kalau masih ada lowongan di kota yang bersangkutan diangkat kembali sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris. 

(3) Hal ini sebagai solusi seseorang yang diangkat sebagai PPAT dan kemudian sebagai notaris di kota lain tetap memegang kedua jabatan tersebut dan tetap melakukan tugas-tugas PPAT dan notarisnya dan usahanya untuk diangkat sebagai PPAT di tempat yang bersangkutan sebagai notaris tidak dikabulkan oleh Kepala BPN hanya disuruh berhenti saja sebagai PPAT atau dia diangkat saja sebagai notaris di tempat ditunjuk sebagai PPAT.

Sedangkan ayat (2) merupakan ketegasan dari PPAT sementara ataupun PPAT khusus yang tidak mungkin melanjutkan tugas-tugasnya kalau mereka dipindahkan ataupun berhenti sebagai pejabat di daerah itu baik sebagai camat atau kepala desa dan demikian pula PPAT khusus itu dipindah ke lain jabatan ataupun berhenti ataupun pensiun sebagai pegawai negeri.

Pasal 10 PP No.37/1998, menyebutkan :
(1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
e. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI.

(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengn hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Pemberhentian PPAT karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri kepada Menteri.
(4) PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh.

Sementara Daerah kerja PPAT diatur dalam Pasal 12 PP No.37/1998, sebagai berikut:
(1) Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
(2) Daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.

Untuk daerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan menjadi 2 (dua) atau lebih tentunya dapat mengakibatkan perubahan daerah kerja PPAT didaerah yang terjadi pemekaran atau pemecahan tersebut. Hal ini telah diatur dalam Pasal 13 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1)Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kota dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah Kabupaten/Kota, maka dalam waktu 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang tentang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah tingkat II yang baru PPAT yang daerah kerjanya adalah Kabupaten/Kota semua harus memilih salah satu wilayah Kabupaten/Kota sebagai daerah kerjanya, dengan ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota Daerah Tingkat II yang baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah Kabupaten/Kota letak kantor PPAT yang bersangkutan.

(2) Pemilihan daerah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang pembentukan Kabupaten/Kota daerah Tingkat II yang baru.

Dari rumusan diatas dapat dipahami bahwa dalam ayat (1) memberikan suatu kemudahan kepada PPAT untuk memilih salah satu wilayah kerjanya, dan jika ada kantor pertanahannya disitulah dianggap sebagai tempat kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk memilih, dan jika dia tidak memilih salah satu dari daerah tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi berwenang. Sedangkan dalam masa peralihan yang lamanya 1 (satu) tahun PPAT yang bersangkutan berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas satuan rumah Susun yang terletak di wilayah Daerah Tingkat II yang baru maupun yang lama.


D. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT

Pasal 2 PP No.37/1998, sebagai berikut :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Sementara Pasal 101 Peraturan Menagria/KBPN No.3 Tahun 1997, menyebutkan sebagai berikut :
1. pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memuat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum yang bersangkutan.

3. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Atas ayat (1) maka tugas dari PPAT adalah melakukan perekaman perbuatan hukum (recording of deeds of conveyance) sebagaimana diatur dalam ayat (2).

Dalam Pasal 3 PP No.37/1998, disebutkan :
(1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Demikian PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta PPAT berdasarkan penunjukannya sebagai PPAT, di sesuatu wilayah dan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) PP No.37/1998 tersebut. Sedangkan kewenangan PPAT khusus tersebut adalah pembuatan akta PPAT yang secara khusus ditentukan.

Mengenai bentuk akta PPAT ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dalam Pasal 21 PP No.37/1998, sebagai berikut :

(1) Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Semua jenis akta PPAT diberi satu nomor urut yang berulang pada tahun takwin.
(3) Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli dalam 2 (dua) lembar, yaitu :
a. lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT bersangkutan, dan
b. lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjasi obyek perbuatan hukum dalam akta yang disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, dan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dapat diberikan salinannya.
Yang mengherankan dalam penjelasan ayat (1) pasal diatas, bahwa untuk memenuhi syarat otentiknya suatu akta, maka akta PPAT wajib ditentukan bentuknya oleh Menteri. Penulis tidak sependapat dengan penjelasan tersebut, karena yang menentukan keotentikan suatu akta yaitu kewenangan pejabat yang membuatnya, komparisi, nama-nama dan tanggal akta dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada, hal itulah yang membuat akta itu otentik.

BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
1. Dikenalnya beberapa PPAT yaitu Notaris atau yang khusus menempuh ujian PPAT, ada pula PPAT sementara yaitu Camat atau Kepala Desa tertentu untuk melaksanakan tugas PPAT, karena di suatu daerah belum cukup PPAT.

2. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri untuk suatu daerah kerja tertentu yang meliputi wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

3. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, perbuatan hukum dimaksud sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tangungan.

b. Saran
Mengingat masih adanya perbedaan pendapat di kalangan akedemisi mengenai keotentikan akta PPAT yang selama ini diatur melalui Peraturan Pemerintah maka sebaiknya Pemerintah beserta DPR segera membuat Undang-Undang mengenai PPAT.


HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA

I. Pendahuluan

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).[1] Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

Kita sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.

Karena itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[2] Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.[3] 


II. Pembahasan tentang Hukum Waris Islam

Setiap masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram, mubah), di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement), sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan yang jelas dan pasti.

Hal yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan perkemmbangan kemajuannya.[4]

Masalah-masalah yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadpi manusia ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi, bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya masing-masing.[5]

Selain dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan. Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga, sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6] Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak dalam warisan.[7]

Penyebab timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris adalah cukup banyak.[8] Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni :

1. Metode dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan

2. Kondisi masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.

Hal-hal tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa (wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam, karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.

Turki adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.

Di Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56 tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah, nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap. Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.[9] 

Di Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan (seorang ulama).


III. Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia

Sejak berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.

Karena itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.[10] Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.[11] Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.

Pada tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12] 

Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah, dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.[13]

Menurut Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama daripada ke Pengadilan Negeri.[14] Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.[15]

Pada tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I. Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%

Kemudian kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah sebagai berikut :

1. Masyakarat Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya 11,7%

2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.

Karena itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]

Karena itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.

Jelaslah, bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.[17] Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.[18]


IV. Penutup 

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan dan saran/harapan sebagai berikut :

1. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional (mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran hukum agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia

2. Di Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap terutama mengenai hukum keluarga Islam termasuk hukum waris Islam Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern. Karena itu, hendaknya para ulama dan cendekiawan Muslim segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman.

3. Akibat politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti dengan hukum nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

4. Khusus hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri dan wewenang Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti semula sebelum ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.

Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.

Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975.

Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.

Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.

___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983.

Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.

Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983.

Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.



[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm. 1-20

[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, penduduk Indonesia menurut agama berjumlah 147.490.298 jiwa yang beragama Islam 125.462.176 jiwa (87,09%), vide Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6, hlm. 20-21. Cf. Tabel 9, hlm. 26-27

[3] Mengenai pandangan Islam terhadap adat/hukum adat, vide Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm. 27-34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm/ 65-70

[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404

[5] Perhatikan al-Qur’an Surat al-Nisa ayat 11 dan 12

[6] Vide Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 66

[7] Ibid., hlm. 57

[8] Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat/fatwa hukum, vide Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981, hlm. 16-17. Dan mengenai metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Mazhab Empat, Ibid., hlm. 22-26

[9] Vide Muhammad Sallam Madkur, op.cit., hlm. 118-127

[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality before God.

[11] Vide Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10

[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.

[13] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25

[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%) mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan Risalah, 1984m hlm. 24-25

[15] Ibid., hlm. 25

[16] Vide Masjfuk Zuhdi, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983, hlm. 39-40

[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi Snouck Hurgronje dengan argumentasinya masing-masing, vide Sajuti Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm. 65-72

[18] Perhatikan pasal 2 (sahnya perkawinan) pasal 29 (sahnya perjanjian perkawinan), dan penjelasan pasal 37 (harta benda suami istri yang cerai) menunjukkan berlakunya hukum agama termasuk hukum Islam Indonesia tanpa harus disandarkan berlakunya hukum Islam tersebut pada hukum adat, tetapi cukup berdasarkan secara langsung peraturan UU yang bersangkutan dalam hal ini UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Cara Membagi Waris Menurut KUH Perdata

Cara Membagi Waris Menurut KUH Perdata
 

Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).

Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.

Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada putusan.

Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Berhak Mendapatkan Warisan
Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.

Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris).

Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.

Tidak Berhak Menerimanya
Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.

Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.

Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.

Pengurusan Harta Warisan
Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan).

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.

Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.

Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.

Ayah
Ibu
Pewaris
Saudara
Saudara

B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.

Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
kakek
nenek
kakek
nenek

Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.

Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.


TIP
Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya.