KEDUDUKAN HUKUM WARIS INDONESIA
(Materi Perkuliahan)
(Materi Perkuliahan)
Kedudukan dan Perlakuan Hukum terhadap tanah yang alas buktinya baru berupa Girik tidak dapat dilakukan peralihannya melalui akte van transport berupa akta AJB yang dibuat oleh/dihadapan PPAT, tepapi dapat dilakukan dengan akta Pelepasan dan Penyerahan Hak atau akte Pengoperan Hak atau akte Pengikatan akan jual beli di hadapan Notaris. Untuk ketiga macam akte mana harus di sesuaikan dengan tindak lanjut perbuatan hukum mana yang dipilih. Jika Giriknya masih atas nama Pewaris, dimana di dalam premisse akta harus dicantumkan bahwa tanah yang dialihak/dioperkan hak tersebut adalah tanah yang berasal dari hak waris. Hak Waris mana harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Hak Waris, yang dibuat/dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang (tergantung dengan penundukan hukum apa) di yang dipakai
Sebagai penyegaran untuk mengingat kembali bahwa sejak Indonesia merdeka, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah yang menetapkan salah satu wewenang Pengadilan Agama adalah masalah kewarisan. Meskipun di Jawa dan Madura Pengadilan Agama tidak menyelesaikan masalah warisan, tetapi Pengadilan Agama mengeluarkan “Fatwa Waris” yang sangat dibutuhkan oleh para pencari keadilan.
Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7 tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga bidang usaha ekonomi syari’ah.
Namun demikian materi HWI tetap berada dalam buku II KHI yang berpayung hukum pada Inpres No. 1 tahun 1991.
Dalam praktek pelaksanaan wewenang tersebut, saat ini menurut kami ada beberapa hal yang perlu dilengkapi dan disempurnakan, antara lain :
1. Materi HWI
Mempelajari materi HWI hukumnya fardlu kifayah. Artinya jika sudah ada sebagian orang yang mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban yang lain. Namun melaksanakan HWI dalam membagi harta peninggalan adalah fardlu ‘ain. Artinya setiap orang Islam wajib melaksanakan hukum waris Islam jika ia membagi waris. Tidak gugur kewajibannya sehingga ia melaksanakan sebagaimana yang diperintahkan Allah(Qs.4:13-14).
Dalam mempelajari hukum waris Islam, kendala yang umum dihadapi adalah :
a. Orang merasa sulit mempelajarinya karena melibatkan beberapa ilmu lain, seperti : matematika, akuntansi, bahasa, penilaian atau penaksiran harta, pertanahan, dll.
b. Sebagaimana ilmu-ilmu yang lain, jika HWI ini tidak senantiasa dipakai akan cepat lupa dan hilang. Sementara peristiwa kematian jarang terjadi.
c. Persentase pembagian harta dalam HWI sangat tergantung keberadaan ahli waris saat pewaris meninggal. Oleh karena itu, diperlukan metode untuk memahami siapa-siapa ahli waris yang berhak mendapat harta peninggalan dan berapa bagian masing-masing ahli waris.
d. Beberapa mazhab dalam Islam memiliki perbedaan dalam menetapkan ahli waris, menghitung dan membagi harta peninggalan pewaris.
e. Tidak semua orang yang mati meninggalkan harta yang patut menjadi urusan penting.
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas antara lain :
a. Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan KHI dengan dasar Inpres/1991. Dalam perkembangannya, saat ini buku I KHI (tentang perkawinan) telah diundang-undangkan (UU No.1/1974), buku III KHI (tentang wakaf) telah diundang-undangkan (UU No.40/2006). Sudah selayaknya buku II KHI (tentang waris) juga dibuat Undang-Undang.
b. Telah dikembangkannya metode gambar sebagai salah satu alternatif cara memahami siapa saja ahli waris yang berhak mendapat pembagian harta peninggalan.
c. Kami telah mengembangkan software waris Islam, yang dapat menetapkan ahli waris yang berhak, persentase bagian ahli waris, sekaligus menghitungnya jika diketahui jumlah harta peninggalan pewaris.
Solusi di atas perlu disosialisasikan baik melalui seminar, pelatihan, maupun workshop. Selain itu diperlukan sharing diantara pejabat teras di lingkungan notaris (INI), Departemen Agama dan Departemen Hukum dan HAM.
2. Keterangan Waris
Surat keterangan waris bagi penduduk asli Indonesia yang dibuat oleh para ahli waris dan diketahui oleh RT/RW, lurah dan camat didasarkan pada surat Mendagri Dirjen Agraria Kep. Direktorat P.T u.b. Kepala Pembinaan Hukum (R. Supanji) No. Djt/12/63/69 (20-12-1969). Surat edaran Dirjen ini dapat dikatakan kurang tepat, dikarenakan dalam isi surat tersebut dikatakan bahwa “Penduduk asli ‘bagaimana berlaku’ hukum adat”. Padahal pribumi yang Islam tidak tunduk pada hukum adat, melainkan hukum Islam.
Kemudian apabila dicermati dengan teliti, akan ditemukan bahwa :
a. Format keterangan waris yang diketahui oleh RT/RW, lurah, camat ini tidak memiliki standart. Bentuknya bermacam-macam.
b. Data-data yang terdapat dalam keterangan waris kurang akurat. Tidak terdapat data yang berkaitan dengan wasiat. Padahal wasiat adalah hal yang umum ada di masyarakat.
c. Demikian pula dari sisi kebenarannya, keterangan waris masih dipertanyakan otentitasnya. Seringkali apa yang tertulis dalam keterangan waris berbeda dengan kenyataan sebenarnya, seperti : tidak seluruh ahli waris tercantum dalam keterangan waris, bahkan ahli waris tidak menandatanginya di hadapan lurah dan camat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah mengeluarkan peraturan setingkat Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pengurusan keterangan waris seperti halnya notaris membuat keterangan waris untuk warga keturunan Tionghoa dan orang barat.
3. Keputusan atau Ketetapan Tentang Ahli Waris di Pengadilan Agama
Berdasarkan pasal 49 UUPA yang telah diamandemen menjadi UU No.3 tahun 2006, mekanisme keputusan atau ketetapan di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut :
a. Sengketa/contensius. Apabila terjadi sengketa diantara ahli waris, yang bersangkutan datang ke Pengadilan Agama mengajukan perkaranya. Pengadilan Agama akan menetapkan putusan yang memiliki kekuatan hukum mengikat berbagai pihak untuk tunduk pada keputusan tersebut.
b. Tanpa sengketa/voluntair. Untuk menghindari terjadinya sengketa dalam pembagian harta peninggalan, ahli waris membagi secara damai dan datang ke Pengadilan Agama memohon penetapan. Pengadilan Agama akan mengeluarkan ketetapan berupa Permohonan Penetapan Pembagian Harta Peninggalan/P3HP (psl 49 dan 107 UUPA). P3HP yang dikeluarkan Pengadilan Agama menurut penulis memiliki beberapa kekurangan, antara lain :
i. Terbitnya P3HP hanya didasarkan pada mekanisme dan acara singkat, artinya tidak seperti mekanisme dan acara yang ditetapkan oleh hukum acara sebagaimana mekanisme dan acara bagi suatu perkara (sengketa), Misalnya : Tidak dilakukan publikasi (pengumuman) secara terbuka yang fungsinya memberi kesempatan kepada “siapapun” (pihak ketiga) yang mungkin mempunyai kepentingan dengan harta peninggalan yang akan dibagi tersebut. Pengumuman ini bisa dilakukan di kantor Pengadilan Agama setempat (yang bersangkutan dengan status para ahli waris), di kantor kelurahan atau kantor kecamatan maupun di kantor pertanahan jika menyangkut harta peninggalan yang berupa tanah. Pengumuman itu juga dapat dilakukan melalui mass media cetak seperti surat kabar harian terutama yang beredar di daerah tempat meninggalnya pewaris. Dilihat dari segi proses pembuatannya ini, maka isi keterangan yang tercantum dalam P3HP mengandung kelemahan yang bersifat materiil.
ii. Pembuatan P3HP tidak disertai dengan pengecekan di Daftar Pusat Wasiat (Departemen Kehakiman). Seharusnya hakim agama melakukan hal ini untuk membuktikan tentang ada-tidaknya wasiat yang dibuat oleh almarhum semasa hidupnya, baik wasiat yang dibuat di hadapan Notaris ataupun wasiat di bawah tangan.
iii. Di dalam P3HP pada umumnya juga belum dicantumkan nilai penaksiran (appresial) yang seharusnya dilakukan oleh juru taksir yang profesional. Selama ini nilai penaksiran yang dilakukan oleh “orang” atas harta peninggalan hanya didasarkan atas kesepakatan para ahli waris saja(pasal 187 KHI), artinya hanya bersifat kekeluargaan. Seharusnya jika penaksiran dilakukan oleh orang atau badan yang profesional dan netral (tidak berpihak pada kepentingan salah satu ahli waris), maka akan diperoleh nilai penaksiran yang akurat dan obyektif.
Kekurangan P3HP baik yang bersifat teknis (mekanisme dan prosedur pembuatannya) maupun substansi (isi P3HP) seperti yang selama ini terjadi dalam praktek, diharapkan dapat diperbaiki oleh hakim agama sehingga pelaksanaan pembagian itu dapat memenuhi persyaratan hukum sebagaimana ditentukan dalam pasal 49 ayat (3) Undang-undang Peradilan Agama.
4. Pelaksanaan Pembagian Harta Peninggalan
Pelaksanaan pembagian harta peninggalan dapat dilakukan oleh para ahli waris maupun notaris, dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Dilakukan oleh para ahli waris (psl 187 KHI)
Umumnya masyarakat membagi sendiri harta peninggalan pewaris. Pembagian semacam ini terkadang menimbulkan masalah. Tidak adanya appresial membuat harta yang dibagi tidak proporsional. Kemungkinan ada unsur subyektivitas, padahal kerelaan para ahli waris yang menjadi acuan dalam pembagian harta peninggalan.
Diantara kekurangan di atas yang harus dilengkapi adalah :
i. Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
ii. Dibuat dengan akta standart seperti yang berlaku di notaris dilengkapi dengan undang-undang, syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku.
b. Dibuat dihadapan notaris
Berdasarkan Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) pasal 15 dinyatakan bahwa “notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang”.
Pasal 16 ayat (d), menyatakan bahwa “notaris wajib memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya”.
Kedudukan Notaris dan PPAT mempunyai kaitan erat (signifikansi) dengan pelaksanaan pembagian harta peninggalan secara damai (di luar pengadilan/non legitasi) terhadap orang yang tunduk kepada hukum perdata barat (BW) maupun orang Islam yang tunduk pada hukum Islam. Apabila selama ini berkembang anggapan umum bahwa profesi notaris melayani mereka yang tunduk kepada hukum perdata barat (BW) saja, sebenarnya hal itu tidak selalu benar. Setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama, Amandemen UUPA, dan KHI, tugas notaris pada bidang kekeluargaan dan kewarisan dalam UU No 1 tahun 1974 dan KHI diantaranya sebagai berikut :
a. UU No 1/74 ; membuat perjanjian kawin.
b. UU No 1/74 ; membuat akta pemisahan harta bersama
c. Pasal 195 ayat (1) KHI ; wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan Notaris.
d. Pasal 195 ayat (4) KHI ; Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau dihadapan Notaris.
e. Pasal 199 ayat (2) KHI ; Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang sakti atau bedasarkan akta Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan.
f. Pasal 199 ayat (3) KHI ; Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut secara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau bedasarkan Akta Notaris.
g. Pasal 199 ayat (4) KHI ; Bila wasiat dibuat bedasarkan akta Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan Akta Notaris.
h. Selanjutnya tentang tata cara penyimpanan surat-surat wasiat disebut dalam pasal-pasal 203, 204 dan 208 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pasal-pasal tersebut di atas dengan jelas disebutkan bahwa notaris mempunyai peran yang penting dalam hukum kekeluargaan khususnya bagi orang Islam.
Selama ini para pejabat (hakim di Pengadilan Agama) belum mengetahui bagaimana membagi harta peninggalan secara profesional sebagaimana yang telah dilaksanakan notaris berdasarkan pasal 1074 KUHPerdata dan pasal-pasal dalam UUJN. Sedangkan para notaris mempunyai anggapan bahwa pembagian harta peninggalan adalah wewenang hakim Pengadilan Agama. Penulis menyimpulkan telah ada kekosongan hukum yang belum terisi tentang siapa yang sebenarnya membagi harta peninggalan secara profesional.
Dalam buku Praktek Pembagian Harta Peninggalan Berdasarkan Hukum Waris Islam, penulis telah memberikan contoh-contoh lengkap masalah atau kasus HWI dan bagaimana cara membuat akta-akta tersebut.